Mataram (ANTARA) - Kepolisian Resor Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat, melakukan proses hukum pada dua sejoli berinisial DR (19) dan FT (24) yang diduga melakukan tindakan aborsi.
Kepala Subnit PPA Satreskrim Polresta Mataram Iptu Putu Yulianingsih di Mataram, Senin, mengatakan proses hukum ini merupakan tindak lanjut laporan yang datang dari pihak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Mataram.
"Usai menerima laporan adanya dugaan tindakan aborsi oleh pasangan sejoli itu, kami langsung datang ke rumah sakit dan mengamankan mereka," katanya.
Diketahui bahwa DR merupakan perempuan yang masih berstatus mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kota Mataram. Dia mendapatkan obat untuk menggugurkan kandungan dari seseorang berinisial DI (20).
Setelah meminum obat, DR mengalami kontraksi. Dengan dibantu FT, DR melakukan aborsi di kamar indekosnya di wilayah Ampenan, Kota Mataram, pada 13 Maret 2025.
Dari pengakuan tersangka DR dan FT, kondisi bayi saat lahir masih hidup. Usai dilahirkan, bayi DR dilarikan oleh kedua pelaku ke Puskesmas Ampenan hingga dirujuk ke RSUD Kota Mataram.
"Setibanya di RSUD Kota Mataram, bayi dinyatakan meninggal. Atas temuan kasus itu, pihak rumah sakit menghubungi kami," ujarnya.
Perihal asal obat yang diduga untuk menggugurkan kandungan tersebut, polisi telah mendapatkan keterangan bahwa FT membelinya dari DI.
"Katanya (FT) dua kali beli dengan harga Rp530 ribu dan Rp800 ribu per dua butir obat. Pas pembelian kedua kalinya, baru bayinya keluar," katanya.
Menurut keterangan DI, dia mengakui mendapatkan obat menggugurkan kandungan itu dari kenalan kakaknya yang berprofesi sebagai tenaga kesehatan.
Perihal keterangan tersebut, Putu Yulianingsih memastikan pihaknya masih terus melakukan pengembangan kasus untuk menelusuri sumber obat.
"Kami telusuri dan kami pastikan kasus ini masih dalam pengembangan lapangan," ucap dia.
Lebih lanjut, DI bersama dua sejoli tersebut kini telah berstatus tersangka dan menjalani penahanan di Rutan Polresta Mataram.
Ketiga pelaku yang terlibat kasus aborsi ini diduga melanggar Pasal 77 A ayat (1) junto pasal 45 A Undang-Undang RI Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU RI No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman pidana 10 tahun penjara.