Jakarta (ANTARA) - Kementerian Koperasi dan UKM menyampaikan perkebunan sawit rakyat yang masih dikelola petani swadaya kecil dengan kepemilikan lahan sekitar 2-4 hektare dapat berkonsolidasi membentuk kelompok tani sehingga bisa mendirikan koperasi.
Adanya konsolidasi tersebut diharapkan dapat mewujudkan pilot project pembangunan industri sawit rakyat pada tahun 2022 sebagai upaya antara lain mengembangkan minyak sawit merah (red palm oil) sebagai solusi mengatasi masalah ketersediaan maupun harga minyak goreng.
"Itu harus segera dipetakan. Kemudian, kita dampingi, sehingga kemandirian para petani sawit untuk memiliki bargaining position dalam industri sawit skala kecil dapat diwujudkan," kata Deputi Bidang Perkoperasian Kemenkop Ahmad Zabadi dalam acara diskusi bertema Pengolahan Minyak Goreng Oleh Koperasi: Tantangan dan Peluang, sebagaimana keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, terdapat 454 koperasi sawit di Indonesia yang mayoritas di provinsi Riau dengan luas lahan sekitar 23,67 persen dari total area lahan sawit di tanah air.
Misalnya, lanjut dia, salah satu koperasi yang secara mandiri telah mengelola kebun sawit seluas 1.562 hektar bersama sekitar 781 petani selaku anggota, yaitu Koperasi Unit Desa (KUD) Sumber Makmur di Kabupaten Pelalawan, Riau.
Selain itu, juga ada Koperasi Simpan Pinjam Pembiayaan Syariah Baitul Maal wat Tamwil Usaha Gabungan Terpadu (KSPPS BMT UGT) Sidogiri yang bakal mendirikan koperasi sawit di Kabupaten Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
"Dua koperasi tersebut dapat dijadikan pilot project pembangunan industri sawit rakyat," ucap Zabadi.
Dalam kesempatan yang sama, ia mengharapkan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) turut mengonsolidasikan para petani sawit untuk memperkuat kelembagaan ekonomi melalui koperasi.
Secara umum, kapasitas produksi Crude Palm Oil (CPO) dari Tandan Buah Segar (TBS) sebanyak 1-5 ton per jam masuk ke dalam skala mini, lalu kapasitas rata-rata 5-20 ton per jam masuk skala menengah, dan kapasitas 30-60 ton per jam adalah skala besar.
Dari produksi CPO ini, sebutnya, masih diperlukan proses fraksinasi dan proses lainnya sehingga dapat menghasilkan minyak goreng.
Lebih lanjut, disampaikan pula bahwa minyak goreng yang dikenal di pasaran berwarna kuning jernih dengan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7709-2019 mengandung vitamin A mencapai 45 IU/gram. Adapun minyak sawit merah (red palm oil) dinyatakan mampu menghasilkan kandungan vitamin A cukup tinggi, yakni 666 IU/gram.
"Penelitian dari Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dan Riset Perkebunan Nusantara (RPN) ini yang perlu kita implementasikan untuk kemudian kita menemukan skala keekonomian dari produksi minyak goreng oleh koperasi," ungkap dia.
Bagi Zabadi, kehadiran Badan Standardisasi Nasional (BSN) dapat secara khusus mengawal proses standardisasi minyak goreng skala koperasi dan UMKM.
Dengan demikian, masyarakat bisa mendapatkan pilihan rasional dalam memenuhi kebutuhan minyak goreng yang sehat dan terjangkau.
“Untuk mewujudkan piloting ini, diharapkan dukungan pembiayaan baik di sisi on farm, yaitu dengan KUR (Kredit Usaha Rakyat) perbankan dan dari kelembagaan koperasinya melalui LPDB-KUMKM (Lembaga Pengelola Dana Bergulir Koperasi, Usaha Mikro Kecil dan Menengah) baik untuk kebutuhan modal investasi dan modal kerja,” ujarnya.