Jakarta (ANTARA) - Temuan dalam laporan Global Economic Forecast Report dari ICAEW dan Oxford Economics mengatakan bahwa inovasi teknologi menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya ekonomi hijau dan berkelanjutan di Asia Tenggara dan dunia, terutama di masa saat dan setelah pandemi COVID-19.
Mengutip keterangan resmi pada Rabu, era pasca COVID-19 akan didominasi oleh perubahan iklim dan pemulihan dari pandemi memberikan peluang bagi pebisnis untuk membangun kembali bisnis mereka dengan cara yang lebih kuat dan berkelanjutan untuk masa depan yang lebih baik.
"Inovasi teknologi dan investasi publik sangat penting bagi ekonomi hijau. Biaya ekonomi dari lambatnya tindakan yang dilakukan terkait perubahan iklim sangatlah signifikan," tulis laporan tersebut.
"Untuk ekonomi Asia Tenggara yang lebih bergantung pada industri pertanian dan peternakan, kemajuan yang lebih lambat dalam memperkenalkan dan adopsi energi terbarukan dapat menjadi tantangan nyata bagi pertumbuhan PDB mereka dalam jangka panjang," imbuhnya.
Di sisi lain, ada banyak peluang untuk menjadi penggerak awal teknologi hijau. China dan kawasan Asia Tenggara dapat menjadi penggerak utama untuk mulai memetakan pemulihan ekonomi hijau dan sebagai pemimpin dalam Penelitian dan Pengembangan dan inovasi teknologi.
Ditambah dengan tingkat utang yang rendah, hal ini dapat memberikan peluang untuk membangun kembali industri dan bisnis yang lebih hijau jika negara-negara mau berinvestasi dalam transisi energi bersih dan memanfaatkan kemitraan publik dan swasta untuk menciptakan perubahan.
"Mereka dapat melakukan ini dengan menetapkan tujuan kebijakan yang jelas dan memberikan panduan kepada bisnis untuk mengintegrasikan strategi berkelanjutan dalam organisasi mereka dan membandingkan kemajuan mereka dengan sistem pelaporan yang sama," tulis laporan tersebut.
Laporan itu juga mengatakan penyebaran varian Delta COVID-19 berdampak pada perlambatan pemulihan ekonomi Asia Tenggara tahun ini, terutama untuk negara-negara dengan tingkat imunitas yang rendah.
Ekonomi beberapa negara, termasuk Indonesia diperkirakan akan mengalami kontraksi pada kuartal ketiga tahun ini. Namun demikian, prospek Kawasan Asia Tenggara pada tahun 2022 lebih positif.
"Ekonomi di Asia Tenggara memiliki imunitas terhadap COVID-19 yang rendah. Hal ini membuat mereka rentan dengan varian delta yang akan membuat beberapa negara menerapkan pembatasan yang lebih ketat untuk mencegahnya menyebar lebih jauh," kata Chief Economist and Managing Director at Oxford Economics Middle East, Scott Livermore.
"Perkembangan baru pada negara-negara seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Vietnam kemungkinan akan membebani aktivitas perekonomian mereka di Q4 sampai COVID-19 dapat lebih terkendali di negara masing-masing," imbuhnya.
Managing Director International ICAEW, Mark Billington, mengatakan penting bagi pemerintah untuk memiliki regulasi yang tepat dan sesuai dengan keadaan di negaranya.
"Pemerintah tidak hanya harus menerapkan pembatasan dan tindakan yang tepat untuk menahan laju penyebaran varian baru, tetapi mereka juga perlu mempercepat peluncuran vaksinasi mereka untuk mencapai imunitas terhadap virus, untuk meningkatkan prospek pertumbuhan mereka," kata Billington.
Berita Terkait
BPS Lampung catat beras sumbang deflasi April 0,37 persen
Kamis, 2 Mei 2024 23:26 Wib
Bank Dunia sebut kondisi ekonomi Indonesia cukup bagus
Rabu, 1 Mei 2024 20:48 Wib
Menkeu: Ekonomi Indonesia bisa tumbuh 5 persen dengan jaga kesejahteraan masyarakat
Selasa, 30 April 2024 19:48 Wib
BI prediksi perekonomian Bengkulu menguat 5,1 persen triwulan II 2024
Selasa, 30 April 2024 19:00 Wib
Lampung targetkan pertumbuhan ekonomi 4,9-5,3 persen di 2025
Selasa, 30 April 2024 18:44 Wib
BI sebut konsumen optimistis terhadap ekonomi Lampung enam bulan ke depan
Senin, 29 April 2024 18:07 Wib
Budi daya udang jadi penopang ekonomi warga
Minggu, 14 April 2024 12:51 Wib
Bulog Lampung pastikan ketersediaan beras aman untuk Lebaran
Senin, 8 April 2024 15:28 Wib