Penyelesaian sengketa lahan transmigrasi di Lampung berprinsip "Kewarganegaraan Agraria"

id Sengketa lahan lampung, lahan transmigrasi lampung, lahan lampung,Kewarganegaraan agraria

Penyelesaian sengketa lahan transmigrasi di Lampung berprinsip "Kewarganegaraan Agraria"

Dr Watoni Noerdin SH MH (kiri berpeci) saat memaparkan hasil penelitiannya terkait Kebijakan Penyelesaian Sengketa Lahan Transmigrasi di Hutan Register Provinsi Lampung Berdasarkan Agrarian Citizenship, di Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), di Bandarlampung, Kamis (12/12/2024). ANTARA/Budisantoso Budiman

Penyelesaian sengketa lahan dengan mekanisme yang efektif, transparan, dan dapat diakses oleh semua pihak yang terlibat, dapat menjadi langkah yang penting dalam mengatasi konflik lahan....

Bandarlampung (ANTARA) - Provinsi Lampung termasuk salah satu daerah yang memiliki persoalan sengketa lahan terbanyak di wilayah Sumatera. Seringkali sengketa lahan itu penyelesaiannya dilakukan secara hukum (litigasi), namun tidak tuntas dan masih menyisakan sejumlah persoalan klaim lahan di lapangan.

Hasil penelitian terkait kebijakan penyelesaian sengketa lahan, khususnya lahan transmigrasi di Lampung, diharapkan dengan menerapkan prinsip 'agrarian citizenship' (kewarganegaraan agraria) yang berkeadilan, namun dalam kenyataannya masih cenderung lebih menekankan pada jalur litigasi dan seringkali mengutamakan kepentingan pemerintah dibandingkan kepentingan masyarakat.

Menurut Dr Watoni Noerdin SH MH, saat menyampaikan hasil penelitiannya itu, pada sidang promosi terbuka gelar doktornya, di Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila), di Bandarlampung, Kamis (12/12) siang, menawarkan alternatif kebijakan penyelesaian konflik lahan seperti itu yang dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuatan antara pemerintah dengan masyarakat lokal dalam penyelesaian sengketanya secara permanen.

"Dapat mengarah pada penekanan terhadap kepentingan pemerintah dan pengabaian terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Karena proses litigasi tidak selalu mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang sejati," katanya pula.

Semestinya yang ideal, dia mengingatkan, penyelesaian sengketa lahan transmigrasi di hutan register terkait pengelolaan lahan harus mengakomodir kepentingan para pihak, khususnya masyarakat.

Apalagi tanah merupakan aspek penting bagi masyarakat transmigran yang memiliki nilai strategis sebagai sumber penghidupan dan dasar keberlanjutan ekonomi keluarga.

Urgensi kebijakan penyelesaian sengketa lahan transmigrasi di hutan register Provinsi Lampung, sesuai dengan politik hukum pertanahan dan transmigrasi bahwa kesejahteraan masyarakat merupakan tujuan utama dari politik hukum pertanahan dan transmigrasi di Indonesia.

Ia menilai kebijakan pengelolaan hutan seringkali mengabaikan keberadaan masyarakat transmigran yang telah menerap di wilayah tersebut, sehingga perlu optimalisasi penyelesaian sengketa lahan transmigrasi di hutan yang berkeadilan.

Dia mengingatkan, hendaknya kebijakan penyelesaian sengketa lahan itu, berdasarkan prinsip 'agrarian citizenship' (kewarganegaraan agraria) yang berkeadilan memerlukan langkah-langkah konkret dan terarah, dengan paradigma baru melalui pendekatan integrasi reformasi agraria, pemberdayaan ekonomi berbasis masyarakat, dan pelestarian lingkungan untuk mewujudkan kesejahteraan dan adanya pengakuan terhadap masyarakat adat.

Konsep 'agrarian citizenship' atau kewarganegaraan agraria mengacu pada hak-hak dan kewajiban individu terkait kepemilikan, penggunaan, dan pengelolaan sumber daya agraria. Dalam konteks Indonesia, program transmigrasi yang telah berjalan selama beberapa dekade menjadi salah satu kebijakan yang sangat terkait dengan konsep ini.

Program transmigrasi bertujuan untuk memeratakan penyebaran penduduk dan membuka lahan baru. Namun seringkali menimbulkan berbagai persoalan, termasuk soal keadilan bagi para transmigran.

'Agrarian citizenship' dan keadilan merupakan dua konsep yang saling terkait dalam konteks program transmigrasi. Karena itu, untuk mewujudkan keadilan bagi para transmigran, perlu adanya upaya untuk memperkuat hak-hak mereka atas tanah dan sumber daya alam, meningkatkan partisipasi dalam pengambilan keputusan, serta menciptakan kondisi sosial yang inklusif. Dengan demikian program transmigrasi dapat menjadi instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi ketimpangan sosial.

Provinsi Lampung pernah dikenal sebagai wilayah "landless" alias tanah tak bertuan. Di masa itu, karena penduduk masih sedikit, sementara lahannya banyak berupa kawasan hutan, para pendatang hadir untuk menggarap lahan memilihnya sendiri, dan cukup mematok lahan yang ada untuk leluasa dikelola, kemudian bisa dimiliki selanjutnya. Tapi era ini sudah berakhir. Lahan yang ada kini pun diperebutkan, sehingga memicu sengketa.

Lampung juga dikenal sebagai salah satu daerah tujuan program transmigrasi, bahkan sejak era penjajahan Belanda, Lampung menjadi daerah tujuan program Kolonisasi yang dijalankan Pemerintah Hindia Belanda, dengan mengirimkan warga dari Pulau Jawa untuk masuk ke wilayah Lampung dan tinggal serta menggarap lahan di wilayah ini, terutama di kawasan minim penduduk dan lahan tersedia belum terkelola dengan baik.

Pada 1952, program transmigrasi di era Presiden Soekarno (Bung Karno) memindahkan sejumlah warga dari Tatar Pasundan, Jawa Barat ke Lampung. Namun kemudian di antara mereka yang datang itu ternyata mendiami dan mengolah lahan di kawasan hutan, sehingga menimbulkan permasalahan berkepanjangan dengan pemerintah.

Kawasan-kawasan eks Kolonisasi maupun eks Transmigrasi di Lampung, di antaranya kini telah berkembang menjadi permukiman maju dan padat penduduknya. Warga transmigran maupun pendatang (transmigran lokal) terutama asal Pulau Jawa, kini telah bermukim dan beranak pinak di wilayah tersebut.

Lampung juga pernah menjadi daerah tujuan pendatang dari Pulau Bali yang dipindahkan ke Lampung akibat terkena bencana alam letusan Gunung Agung (1963/1964), sehingga bertumbuhan dan berkembang kawasan permukiman warga asal Bali di beberapa wilayah kabupaten di Lampung hingga saat ini. Gelombang pertama warga asal Bali ke Lampung terjadi pada 1952.

Keberhasilan para pendatang (transmigran) itu kemudian menginspirasi keluarga atau warga di tempat asal mereka untuk bergelombang atas inisiatif sendiri berdatangan ke Lampung (translok). Mereka berharap bisa menggarap dan akhirnya memiliki lahan serta hidup dan bermukim di Lampung.

Sejumlah wilayah di Lampung hampir merata terdapat warga pendatang, terutama dari Pulau Jawa, selain pendatang dari daerah lain di Sumatera dan wilayah Indonesia lainnya.

Bahkan, kini mayoritas penduduk Lampung adalah warga pendatang. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan beberapa sumber data resmi lainnya, Provinsi Lampung didominasi oleh penduduk beretnis Jawa mencapai sekitar 62 persen. Sedangkan penduduk beretnis Lampung sebanyak 12-13 persen. Selebihnya dari berbagai etnis lainnya.

Lampung memiliki 15 wilayah, dua kota, dan 13 kabupaten. Pada 2022 jumlah penduduk Lampung mencapai 9 juta jiwa lebih

Konflik Perhutanan Sosial

Menurut penelitian Watoni Noerdin itu, konflik pengelolaan kawasan hutan banyak terjadi di berbagai daerah termasuk Provinsi Lampung, di antaranya adalah konflik di kawasan Hutan Lindung Register 45B Bukit Rigis di Lampung Barat. Konflik lahan ini dipicu oleh kegiatan masyarakat yang menggarap lahan di dalam kawasan hutan menjadi lahan pertanian, dan bahkan ada yang sudah tinggal secara permanen.

Provinsi Lampung merupakan salah satu perintis Program Perhutanan Sosial (Social Forestry) melalui Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHkm) sejak tahun 1995. Hingga tahun 2004 tidak kurang ada 100 kelompok tani hutan (KTH) yang menerima izin kelola Hkm sementara. Tahun 2007, Lampung merupakan salah satu provinsi dari tiga provinsi (Lampung, Daerah Istimewa Yogyakarta/DIY, dan Nusa Tenggara Barat/NTB) yang menerima IUPHkm definitif dengan masa izin mencapai 35 tahun. Izin ini di Lampung menjadi yang terbanyak.

Ketidakjelasan status tanah merupakan salah satu penyebab utama terjadi sengketa tanah khususnya di kawasan hutan lindung (register) di Lampung. Penyebabnya terjadi tumpang tindih kepentingan antara berbagai pihak yang memiliki klaim dan kepentingan yang bertentangan atas lahan tersebut.

Tumpang tindih itu terjadi, seperti antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan perusahaan, perusahaan dengan masyarakat adat, maupun antara masyarakat dengan masyarakat yang saling berbeda kepentingannya.

Watoni Noerdin yang juga mantan aktivis LBH Bandarlampung dan mantan anggota DPRD Lampung itu pun mengingatkan kebijakan penyelesaian sengketa lahan transmigrasi di kawasan hutan yang berkeadilan perlu penguatan sinergi lembaga terkait.

"Perlu menetapkan arah kebijakan pengelolaan lahan transmigrasi (perhutanan sosial) serta mewujudkan kesetaraan akses keadilan dalam penyelesaian sengketa lahan dengan bantuan hukum struktural yang merupakan pendekatan komprehensif, melibatkan litigasi struktural, advokasi, dan pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah, DPRD, kementerian terkait, dan lembaga swadaya masyarakat," katanya lagi.

Di Lampung beberapa tahun lalu, pernah dibentuk Tim Mediasi Penyelesaian Sengketa Tanah Provinsi Lampung yang dikenal dengan Tim 13, beranggotakan unsur LSM, perwakilan pemerintah daerah dan dinas terkait, serta kalangan profesional. Tim ini independen dan memiliki keleluasaan untuk melakukan penelusuran sengketa lahan yang ditangani ke lapangan, termasuk memanggil para pihak dan melakukan mediasi yang diperlukan. Tim memberikan solusi dan rekomendasi penyelesaian sengketa itu kepada pemerintah daerah.

Sejumlah sengketa lahan antara pemerintah daerah/pusat dengan masyarakat adat, masyarakat transmigran, perusahaan, dan sengketa lahan di kawasan kehutanan maupun areal transmigrasi berhasil diurai dan diberikan rekomendasi penyelesaiannya secara mediasi, dengan prinsip 'win-win solution' sehingga dapat diterima oleh para pihak secara permanen. Sejumlah konflik lahan yang sempat memanas, dapat dimoderasi, dan dengan jalan mediasi serta dialog bersama, beberapa di antaranya menemukan solusi permanen dapat diterima para pihak.

Namun tim independen itu belakangan tidak dilanjutkan lagi oleh gubernur dan Pemprov Lampung, sehingga saat ini penanganan sengketa lahan yang terjadi lebih banyak dilakukan secara formal oleh pemda atau instansi terkait serta kebanyakan dibawa ke jalur hukum/litigasi, tidak lagi melalui jalur mediasi dan advokasi/pendampingan independen dengan melibatkan para pihak secara setara.

Karena itu, agar efektif penyelesaian sengketa tanah di Lampung itu, maupun daerah lainnya, Watoni Noerdin yang juga pernah aktif di Tim 13 Provinsi Lampung ini, menyarankan pemerintah harus membuat kebijakan yang berpihak kepada rakyat sesuai dengan prinsip 'agrarian citizenship', sehingga pemerintah mengembangkan kebijakan yang tidak hanya adil dan inklusif, tetapi juga mendukung kedaulatan rakyat atas sumber daya agraria sebagai fondasi pembangunan yang berkelanjutan.

Pemerintah daerah juga harus terlibat secara aktif dalam penyelesaian sengketa lahan, dan dapat mendengarkan pihak masyarakat serta memfasilitasi dialog yang konstruktif untuk mencapai solusi yang adil dan berkelanjutan. Pastikan bahwa proses penyelesaian sengketa dilakukan secara transparan dan akuntabel, untuk mencegah adanya pihak yang "main mata".

Masyarakat harus berkolaborasi dan berupaya mencapai konsensus atau kesepakatan dalam penyelesaian sengketa lahan dengan mengutamakan dialog damai dan resolusi yang menguntungkan semua pihak.

Masyarakat harus diberdayakan untuk menjadi lebih mandiri dalam menyelesaikan sengketa lahan, dengan memberikan akses terhadap sumber daya dan dukungan teknis yang diperlukan.

Watoni pun menekankan bahwa penyelesaian sengketa lahan dengan mekanisme yang efektif, transparan, dan dapat diakses oleh semua pihak yang terlibat, dapat menjadi langkah yang penting dalam mengatasi konflik lahan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal sambil memperhatikan keberlanjutan lingkungan dan prinsip-prinsip keadilan sosial.