Bandarlampung (ANTARA) - "Pengecangan" salah satu kuliner tradisional asli Desa Maringgai, Kecamatan Labuhan Maringgai, Kabupaten Lampung Timur, Provinsi Lampung yang dianggap mewah dan wajib hadir dalam setiap pesta warga setempat.
"Masakan pengecangan menjadi makanan mewah dan wajib ada pada setiap pesta warga Maringgai, karena resep makanan tersebut merupakan warisan asli sejak tempo dulu yang menggunakan berbagai rempah-rempah termasuk lada dan hanya dapat dijumpai saat pesta pernikahan ataupun acara besar lainnya di desa ini," ujar Paryanti, ibu rumah tangga yang biasa menjadi "chef" atau tukang masak di desa itu saat dihubungi dari Bandarlampung, Jumat.
Menurutnya, tidak hanya mewah pengecangan juga dianggap sebagai kuliner mahal sebab satu kali acara warga dapat menyembelih empat hingga dua belas kambing atau sapi dan membutuhkan tenaga pekerja yang cukup banyak.
"Pengecangan tidak dapat kita nikmati sebagai makanan sehari-hari, karena bahan baku utamanya adalah daging dan jeroan sapi ataupun kambing yang harganya cukup mahal bila dikonsumsi sebagai makanan sehari-hari", katanya.
Selain itu, menurut Paryanti, cara pengolahan pengecangan pun cukup memakan waktu dan menguras tenaga, karena proses merebus dan mengaduk daging membutuhkan waktu seharian agar menjadi empuk saat dikonsumsi.
"Pengecangan ini lama proses memasaknya kalau acara pernikahan bisa hingga tiga kali masak, dan terkadang bapak-bapak yang memasak karena proses mengaduk pengecangan lumayan berat", katanya.
Kuliner pengecangan yang tampilannya mirip gulai sapi ini memiliki cita rasa yang cukup unik, karena rasa rempah yang tidak terlalu tajam telah membalut keseluruhan daging sapi sehingga menyamarkan bau khas jeroan yang kurang sedap.
"Jeroan sapi baunya sangatlah tidak sedap, sehingga warga desa sini biasanya menutupi bau tersebut dengan salah satu tanaman bumbu yang bentuknya mirip dengan laos merah tetapi memiliki wangi lebih lembut yang dapat ditemukan di sekitar ladang warga;" ujar Sum, juru masak lainnya.
Menurutnya, resep kuno ini selalu dipakai turun temurun sejak dahulu hingga saat ini sehingga kuliner pengecangan dapat terus dinikmati oleh generasi selanjutnya di setiap berlangsungnya acara besar di desa.