Kekerasan rumah tangga berawal dari stres benarkah?

id stres pemicu kdrt, stres

Kekerasan rumah tangga berawal dari stres benarkah?

Ilustrasi orangtua bertengkar di depan anak (Shutterstock)

Kasus kekerasan dalam keluarga itu dipicu awalnya dari ketidakbahagiaan hubungan istri dan suami. Itu stimulus awalnya. Sebenarnya, banyak trauma yang belum selesai dalam diri sendiri
Jakarta (Antaranews Lampung) - Psikolog Elizabeth T. Santoso, M.Psi, Psi, SFP, ACC mengemukakan bahwa kasus kekerasaan dalam rumah tangga semakin meroket ditengarai dipicu oleh stres, di antaranya, kasus pembunuhan satu keluarga yang terjadi baru-baru ini di Palembang.

"Kasus kekerasan dalam keluarga itu dipicu awalnya dari ketidakbahagiaan hubungan istri dan suami. Itu stimulus awalnya. Sebenarnya, banyak trauma yang belum selesai dalam diri sendiri," katanya seusai media workshop Tension and Trauma Releasing Excerises (TRE) di Jakarta, Jumat.

Penulis buku "Raising Children in Digital Era" memaparkan bahwa stres itu reaksi tubuh dan pikiran terhadap tantangan dan tuntutan sehari-hari.

"Penyebab stres antara lain kondisi biologis. Misalnya, sakit atau kecelakaan. Kemudian, lingkungan, tinggal di lingkungan yang bising, berpolusi dan tidak sehat. Lalu, pola pikir, seperti apa yang diharapkan berbeda dengan realitas," jelas Lizzie panggilan akrab Elizabeth.

Termasuk juga, sambungnya, perilaku negatif seperti gaya hidup tidak sehat, contohnya merokok, napza, alkohol, dan kurang aktivitas fisik.

"Kondisi dan dinamika kehidupan juga menyebabkan stres, seperti perceraian, kematian, pemecatan, konflik dengan kolega dan pasangan," ujarnya.

Berkaitan dengan kasus kekerasaan rumah tangga, lanjutnya, lebih banyak disebabkan oleh domestic affairs dan relationship.

"Karena pasangan itu yang paling mengerti diri kita. Begitu ada sesuatu yang `menusuk bisa menyebabkan stres, marah, hingga pembunuhan," katanya.

Stres sendiri, ungkapnya, sudah dirasakan manusia sejak awal kehidupan. Dan tanpa disadari ada beberapa kondisi stres yang menyebabkan syok dan trauma. Misalnya, tertimpa bencana alam, korban pelecehan, kecelakaan, dan lain sebagainya.

Menurut dia, trauma menyebabkan reaksi yang intens, seperti ketakutan, kemarahan, kesedihan, ataupun rasa bersalah, bila tidak "diintervensi" akan berdampak panjang dan termanifestasi dengan munculnya gangguan fisik dan emosi.

Ia menyarankan agar orang sejak dini mengintervensi dengan melakukan pelepasan stres melalui kecerdasan tubuh yang disebut TRE.