Tolak diskriminasi sawit, Indonesia minta itikad baik EU
Jakarta (ANTARA) - Pemerintah Indonesia meminta itikad baik Uni Eropa terhadap isu diskriminasi sawit di tengah perundingan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia dan EU atau IEU-CEPA, kata Wakil Menteri Luar Negeri RI Mahendra Siregar saat ditemui di Jakarta, Selasa.
"Kami sedang sampaikan pesan ke EU agar dalam perundingan itu berbasis pada good fate atau niat baik. Kita pahami sekarang ada analisis dari internal komisi eropa, DG Trade (direktur jenderal perdagangan, red) bahwa sawit tidak berbeda dengan segi sustainability secara lingkungan maupun ukuran lain dibandingkan dengan minyak nabati lain," kata Mahendra usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta.
Meskipun kajian internal EU menunjukkan kelapa sawit bukan satu-satunya produk yang berpotensi memiliki jejak karbon tinggi atau sederhananya berdampak pada lingkungan, Mahendra menilai "keputusan politik Uni Eropa mendiskriminasi sawit".
Padahal, jejak karbon juga dapat ditemukan pada produk lain seperti kedelai dan minyak bunga matahari.
Oleh karena itu, Wamenlu RI mewakili pemerintah Indonesia melayangkan surat ke petinggi EU pada pekan pertama November untuk memastikan itikad baik Uni Eropa terhadap perundingan dagang IEU-CEPA.
"Ada pertanyaan yang mendesak bagi kita (untuk segera dijawab EU, red) karena analisis (internal EU tentang kelapa sawit, red) itu tidak diperhatikan sehingga kita harus hati-hari dan melihat kembali apa yang sudah mereka sampaikan dan tentu memberi revisi yang sepatutnya karena ada keraguan (terhadap itikad baik EU, red)," kata Mahendra menjelaskan kemungkinan Indonesia memperbaiki dokumen perundingan.
Indonesia dan Uni Eropa mulai melakukan perundingan kemitraan dagang komprehensif IEU-CEPA pada 2016. Pertemuan antara Indonesia dan EU terakhir kali berlangsung pada 17-21 Juni di Jakarta untuk menjalani negosiasi IEU-CEPA yang kedelapan kalinya.
"Kami sedang sampaikan pesan ke EU agar dalam perundingan itu berbasis pada good fate atau niat baik. Kita pahami sekarang ada analisis dari internal komisi eropa, DG Trade (direktur jenderal perdagangan, red) bahwa sawit tidak berbeda dengan segi sustainability secara lingkungan maupun ukuran lain dibandingkan dengan minyak nabati lain," kata Mahendra usai menghadiri rapat kerja dengan Komisi I DPR RI di Jakarta.
Meskipun kajian internal EU menunjukkan kelapa sawit bukan satu-satunya produk yang berpotensi memiliki jejak karbon tinggi atau sederhananya berdampak pada lingkungan, Mahendra menilai "keputusan politik Uni Eropa mendiskriminasi sawit".
Padahal, jejak karbon juga dapat ditemukan pada produk lain seperti kedelai dan minyak bunga matahari.
Oleh karena itu, Wamenlu RI mewakili pemerintah Indonesia melayangkan surat ke petinggi EU pada pekan pertama November untuk memastikan itikad baik Uni Eropa terhadap perundingan dagang IEU-CEPA.
"Ada pertanyaan yang mendesak bagi kita (untuk segera dijawab EU, red) karena analisis (internal EU tentang kelapa sawit, red) itu tidak diperhatikan sehingga kita harus hati-hari dan melihat kembali apa yang sudah mereka sampaikan dan tentu memberi revisi yang sepatutnya karena ada keraguan (terhadap itikad baik EU, red)," kata Mahendra menjelaskan kemungkinan Indonesia memperbaiki dokumen perundingan.
Indonesia dan Uni Eropa mulai melakukan perundingan kemitraan dagang komprehensif IEU-CEPA pada 2016. Pertemuan antara Indonesia dan EU terakhir kali berlangsung pada 17-21 Juni di Jakarta untuk menjalani negosiasi IEU-CEPA yang kedelapan kalinya.