Bandarlampung (ANTARA LAMPUNG) - Ketua Umum Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Gino Vanollie menyatakan, tidak benar juga adanya pihak yang menilai pendidikan di Indonesia mengalami stagnan atau tidak mengalami kemajuan sama sekali.
"Tidak benar juga penilaian bahwa pendidikan di Indonesia ini stagnan atau tidak mengalami kemajuan sama sekali," ujar Gino yang juga Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Waykanan dalam dialog Aspirasi Merah Putih (AMP) yang disiarkan secara nasional dari RRI di Bandarlampung, Kamis (26/12) dini hari, dipandu presenter Thohir Saleh dan pembahas Redaktur LKBN Antara Lampung.
Menurut anggota Dewan Pendidikan Provinsi Lampung itu, upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pendidikan dengan dukungan dana yang sangat besar sebenarnya telah berhasil meningkatkan angka partisipasi murni (APM) dan angka partisipasi kasar (APK) pendidikan pada seluruh jenjang pendidikan di tanah air yang secara kuantitatif tidak dapat dipungkiri lagi.
Begitupula kondisi fisik sekolah-sekolah yang lebih baik dari sebelumnya, sehingga bila masih ada sekolah berlantai semen atau berlantai tanah, dianggap sebagai sesuatu aib karena minimal harus berlantaikan keramik atau marmer (granit), ujar dia lagi.
"Secara kuantitatif pembangunan pendidikan di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dari kondisi sebelumnya," kata dia.
Namun, Gino mengungkapkan adanya problem dari segi kualitas pencapaian hasil pendidikan yang cenderung semakin tertinggal bila dibandingkan dengan negara-negara serumpun di Asia Tenggara, apalagi dengan negara maju di dunia.
"Kondisi itu seringkali mendorong adanya kebijakan jalan pintas atau 'shorcut' program dan kebijakan pendidikan di negeri kita ini," ujarnya.
Padahal semestinya, kata dia lagi, kebijakan pendidikan di Indonesia itu berjalan secara konsisten untuk dapat menjawab persoalan yang ada, bukan mengikuti selera pasar dan kemauan politik pihak tertentu semata. Akibatnya, seringkali kebijakan pendidikan di Indonesia selalu berganti, seperti penerapan kurikulum yang selalu berubah.
Dia membandingkan, di negara maju biasanya penerapan kurikulum tertentu dipertahankan selama minimal 10 tahun, dan baru akan diubah dengan persyaratan tertentu secara ketat. Tidak seperti di Indonesia, kurikulum pendidikan bisa berganti lebih cepat, mulai dari Kurikulum Berbasis Kompetensi, lalu berganti dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dan saat ini akhirnya pemerintah memutuskan untuk menerapkan Kurikulum 2013 yang menjadi pertaruhan politik untuk menjawab kritik atas akuntabilitas yang disoal banyak pihak yang mengkritiknya.
"Meskipun secara kuantitas telah terjadi kemajuan dan peningkatan pendidikan di Indonesia, ternyata secara kualitas realitas pendidikan di negeri kita masih bermasalah dan dinilai belum berkualitas seperti diharapkan sesuai dengan tujuan pendidikan," kata dia lagi.
Gino mengingatkan adanya empat pilar pendidikan yang harus berperan untuk menjawab bersama-sama pembenahan pendidikan ke depan, yaitu sekolah, keluarga, masyarakat, dan pemerintah harus bersinergi dan solid memajukan pendidikan di Indonesia agar dapat mencapai masyarakat madani yang bukan saja pintar secara intelektual tapi juga terampil secara fisik dan kuat secara mental serta memiliki moral dan perilaku yang terpuji.
Ia menyebutkan bahwa salah satu pilar utama pendidikan bergantung pada dukungan keluarga, masyarakat dan lingkungan serta pihak sekolah, baik gurunya maupun sarana dan prasarana pendidikan yang tersedia. Pemerintah di dalamnya berfungsi sebagai fasilitator dan katalisator sehingga empat pilar pendidikan nasional menjadi kuat, solid dan kokoh, ujarnya lagi.
Gino pun menekankan pada fungsi pembelajaran para pendidik di dalam kelas sebagai salah satu faktor utama untuk mendorong anak didik dan masyarakat dapat merasakan manfaat harus bersekolah, dengan kemampuan para gurunya untuk memadukan pembelajaran yang terkait antara teks materi pembelajaran dengan konteksnya terkait kondisi nyata lingkungan masyarakat umumnya.
"Para guru atau pendidik di Indonesia hari ini, tidak bisa lagi hanya menjalankan tugas seperti halnya dilakukan para guru masa lalu. Tantangan dan persoalan serta kondisi anak didik maupun lingkungan sekitar sudah jauh berubah dan sangat berbeda, sehingga mengharuskan adanya para pendidik yang berkemampuan luar biasa, pendidik yang benar-benar profesional," ujar dia pula.
Karena itu, kata Gino lagi, ketersediaan perangkat lunak, perangkat keras, fasilitas pendukung dan kelengkapan sarana maupun prasarana pendidikan tidak akan serta merta menjamin dan menjawab semua permasalahan pendidikan di Indonesia. Salah satu jawabannya tetap berada di dalam kelas, sangat bergantung pada interaksi guru dengan muridnya yang harmonis, hangat, interaktif, produktif dan menciptakan anak didik yang berkarakter melalui teladan dan contoh dari para guru itu sendiri.
"Pendidikan berkarakter itu bukan hanya bisa diucapkan atau menjadi wacana teoritis bagi anak didik dengan mata pelajaran tertentu saja, tapi harus dijalankan dan dipraktikkan secara nyata sehari-hari dalam pembelajaran dengan keteladanan dari perilaku para guru di dalam kelas maupun di luar kelas," katanya pula.
Diharapkan dengan adanya guru yang profesional di dalam kelas dan berperilaku menjadi teladan bagi anak didik di dalam maupun luar kelas, ujar Gino, ditambah dengan dukungan peran orang tua, lingkungan masyarakat yang kondusif, dan pemerintah yang kebijakannya konsisten dan mantap menopang kemajuan pendidikan, pada saatnya pencapaian kualitas pendidikan di Indonesia akan dapat terpenuhi dengan baik.
"Ini semua menjadi otokritik bagi kita semua, sehingga memasuki tahun 2014 seharusnya semua pihak dapat bergerak bersama-sama membenahi dunia pendidikan di Indonesia, sesuai dengan peran dan fungsi masing-masing untuk mencari solusi terbaik mengatasi problematika pendidikan di tanah air. Tapi, peran pemerintah juga harus hadir cukup kuat di tengah masyarakat, untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas di negeri kita ini," ujar Gino Vanollie pula.