Jakarta (ANTARA) - Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Inarno Djajadi mengatakan pihaknya terus mengembangkan produk reksa dana dan alternatif produk lainnya, sebagai upaya memberikan pilihan investasi yang menarik bagi investor.
“Salah satunya mengkaji perluasan instrumen investasi sebagai underlying reksa dana khususnya yang berbasis instrumen pasar uang,” ujar Inarno dalam jawaban tertulis konferensi pers RDKB OJK Desember 2023 di Jakarta, Kamis.
Ia melanjutkan, OJK juga terbuka dengan usulan pengembangan fitur ataupun jenis produk investasi, dengan terus berkoordinasi dengan asosiasi di industri pengelolaan investasi dan pasar modal.
Lanjutnya, OJK akan terus melakukan harmonisasi ketentuan antar sektor, terutama bidang perbankan dan Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) untuk meningkatkan peluang investor institusi berinvestasi di reksa dana.
“Salah satunya harmonisasi kebijakan dan investasi dalam kaitannya kedepannya dimungkinkan pendirian Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) oleh Manajer Investasi,” ujar Inarno.
OJK melaporkan, berdasarkan statistik terdapat peningkatan jumlah reksa dana yang efektif sebesar 9,86 persen year on year (yoy) menjadi 156 reksa dana pada 2023, dibandingkan sebanyak 142 reksa dana pada 2022.
Dengan demikian, OJK berkoordinasi dengan asosiasi di industri pengelolaan investasi untuk dapat terus menggiatkan kegiatan sosialisasi demi memperbesar basis investor reksa dana, baik investor institusi maupun perorangan (ritel).
Dalam kesempatan ini, Inarno menjelaskan tekanan kinerja reksa dana selama tahun 2023 disebabkan, diantaranya kinerja dari underlying reksa dana itu sendiri, seperti saham dan obligasi, maupun dari sisi investor, khususnya keterbatasan investor institusi untuk berinvestasi pada reksa dana.
“Kondisi ini disebabkan karena volatilitas pasar dan respon investor yang masih cenderung wait and see atas investasi,” ujar Inarno.
Kemudian, lanjutnya, reksa dana juga tumbuh melambat karena tingginya tingkat suku bunga sejak 2022, dan tingginya penyerapan dana masyarakat oleh pemerintah melalui obligasi ritel.
“(Selain itu),tidak adanya lagi insentif perpajakan (Peraturan Pemerintah Nomor 91 Tahun 2021 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi Yang Diterima)," ujar Inarno.