Sulawesi Tengah (ANTARA) - Karantina Tyto alba, sebuah program perawatan jenis burung hantu yang terjatuh dari rumahnya di area sawah.
Rubuha atau rumah burung hantu yang cukup tinggi, terkadang tidak sedikit anak atau bayi burung hantu yang baru berjalan kemudian didapati terluka di bawah.
Inisiatif komunitas Owl Demak, Desa Tlogo Weru menginspirasi seorang Kades Sumberharjo, Baron Hermanto untuk mengembangkan program Karantina Burung Hantu.
Desa Sumberharjo yang mayoritas lahannya pertanian, menjadikan burung hantu sebagai strategi ampuh berbasis ekologi meminimalisir populasi tikus pengganggu sawah.
Dengan dukungan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan, Baron dan tim belajar serta mengembangkan program yang sangat khas ini.
"Burung hantu itu sangat sensitif dan tiap daerah punya jenisnya serta perkembangan habitatnya sendiri-sendiri. Varian di Jawa dan Sulawesi berbeda. Oleh karena itu harus dikembangkan dari asal daerah terdekat," ujar Baron saat ditemui oleh tim di rumahnya pada Rabu (16/2).
Satu burung hantu bisa menjaga sawah seluas lima hektare.
Kemampuan penglihatan dan pendengaran burung hantu yang setara, membuat burung hantu begitu cepat tanggap memburu tikus yang mondar mandir di sawah.
Inilah sekilas cerita Desa Sumberharjo, Moilong Banggai, Sulawesi Tengah, dari Sekolah Pemberdayaan Desa bersama Pertamina-Medco E&P Tomori Sulawesi bekerja sama dengan IMZ dan Dompet Dhuafa.
Program penguatan kapasitas penggerak desa untuk ekonomi desa berdaya.
Tentang Dompet Dhuafa
Dompet Dhuafa adalah lembaga Filantropi Islam yang berkhidmat dalam pemberdayaan kaum dhuafa dengan pendekatan budaya melalui kegiatan filantropis (welasasih) dan wirausaha sosial. Selama 28 tahun lebih, Dompet Dhuafa telah memberikan kontribusi layanan bagi perkembangan umat dalam bidang sosial, kesehatan, ekonomi, dan kebencanaan serta CSR.
Burung hantu bantu meminimalisir populasi tikus pengganggu sawah
Burung hantu itu sangat sensitif dan tiap daerah punya jenisnya serta perkembangan habitatnya sendiri-sendiri.