Dosen Program Studi Pariwisata Program Pendidikan Vokasi Universitas Indonesia (UI), Dr. Diaz Pranita mengatakan, tren wisata saat ini lebih mengarah kepada kelompok kecil yang homogen seperti keluarga atau korporasi dengan tujuan wisata salah satunya alam atau tempat-tempat yang lebih banyak di luar ruangan.
Arung jeram bisa menjadi salah satu pilihan untuk melepas penat. Bagi warga ibu kota, Bogor dan Sukabumi masih jadi tempat terdekat untuk merasakan keseruan arung jeram. Tetapi sebetulnya Indonesia masih punya banyak tempat yang potensial untuk arung jeram, kata Ketua Umum Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Amalia Yunita.
"Di Indonesia banyak tempat yang belum dikenal dan dieksplorasi. Apalagi di Papua, Maluku juga ada sungai bagus-bagus yang belum tereksplorasi," kata Amalia ketika dihubungi ANTARA, Rabu.
Baca juga: Sandiaga ingin pelaku UMKM di desa wisata adaptasi teknologi
Dia meyakini masih banyak surga arung jeram yang tersembunyi di Tanah Air yang kaya dengan sungai dan siap untuk menjadi tempat wisata baru di kemudian hari.
Pada Agustus 2020, FAJI menyebutkan dampak pandemi COVID-19 terhadap operator wisata arung jeram di Indonesia selama empat bulan mencapai Rp39,9 miliar akibat penutupan sementara aktivitas sebagai upaya mencegah penyebaran virus tersebut.
Per Februari 2021, sebanyak 74 persen dari 185 operator arung jeram di 18 provinsi Indonesia sudah mulai beroperasi meski orang-orang di baliknya juga bekerja di tempat lain untuk memenuhi kebutuhan. Baru 12 persen yang betul-betul berjalan seperti sebelumnya, sementara 14 persen masih belum beroperasi.
Tahun ini, Amalia mengatakan ada program penguatan pembangunan keterampilan dan kemampuan untuk para pemandu lewat pelatihan daring yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
"Kami ingin punya wajah baru setelah pandemi selesai, dengan produk yang lebih berkualitas dan berdaya saing," ujar dia.
Arung jeram dapat menjadi tempat melepas jenuh selama berdiam diri di rumah, tetapi FAJI mengatakan masih ada kendala yang dihadapi operator terkait dengan situasi yang membuat masyarakat harus lebih hati-hati dan merogoh kocek lebih dalam bila ingin liburan jarak jauh karena harus menjalani tes untuk membuktikan bebas dari COVID-19.
Baca juga: Sandiaga ingatkan desa wisata disiplin terapkan protokol kesehatan
Dengan kondisi perekonomian yang menantang, masyarakat juga belum berani mengeluarkan dana besar di luar hal esensial karena belum tahu kapan situasi kembali normal.
"Yang dicari yang diskon-diskon, sementara operator dengan prokotol kesehatan jadi punya pengeluaran tambahan, kapasitas dibatasi sehingga tidak berada di posisi yang bisa memberikan harga lebih murah," jelas Amalia, menambahkan itulah alasan mengapa ada operator yang memilih untuk belum beroperasi kembali.
Ia menjelaskan, di beberapa daerah yang digandrungi wisatawan domestik, sudah ada pergerakan minat wisatawan. Kehadiran vaksin juga mempengaruhi rasa percaya diri masyarakat, imbuh dia.
"Kecuali daerah yang pasarnya tergantung dari pasar internasional seperti Bali, relatif belum ada pergerakan. Tapi di daerah luar itu seperti di Jawa, di mana pasarnya banyak wisatawan lokal, Sumatera juga, mulai ada peningkatan."
Operator arung jeram kini menerapkan protokol kesehatan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para wisatawan selama beraktivitas. Para pengunjung juga tetap diminta menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Masker harus selalu dipakai, kecuali saat berada di sungai.
Namun belum banyak operator arung jeram yang mendapatkan sertifikasi "Clean, Health, Safety and Environment" (CHSE) dari pemerintah, program yang digagas sebagai jaminan kepada wisatawan dan masyarakat bahwa produk dan pelayanan yang diberikan sudah memenuhi protokol kebersihan, kesehatan, keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Per Februari, baru 13 operator yang mendapatkan sertifikasi tersebut. Amalia mengatakan, waktu yang dibutuhkan operator untuk melengkapi persyaratan CHSE menjadi salah satu tantangan.
"Untuk dapat sertifikat itu kan enggak mudah, banyak item yang harus diikuti yang mungkin sebelumnya belum ada, itu mungkin yang jadi kendala juga."
Ia berharap akan semakin banyak operator yang mendapatkan sertifikat CHSE agar wisatawan semakin yakin dan tidak khawatir untuk datang.
Direktur Wisata Alam, Budaya dan Buatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Alexander Reyaan, mengatakan sertifikasi CHSE adalah sebuah pengakuan yang bisa didapat lewat berbagai persyaratan. Mereka yang mendapat sertifikat sudah terjamin menjalankan protokol kesehatan yang baik demi kenyamanan wisatawan.
Salah satu syarat yang harus dilengkapi adalah memiliki izin Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Tahun lalu, ada sebagian operator yang belum bisa mendapatkan sertifikasi karena belum memiliki TDUP. Alex menjelaskan, masih ada operator arung jeram yang beroperasi dengan mendapatkan izin pemanfaatan jasa lingkungan dari lokasi setempat untuk menyelenggarakan aktivitas tersebut, tetapi belum memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata.
"Jadi kita tidak bisa memberikan sertifikasi operator minat khusus arung jeram atau (unit usaha pariwisata) apa pun yang belum punya izin," kata Alex.
Sementara itu, butuh waktu untuk mendapatkan TDUP sehingga proses mendapatkan sertifikasi CHSE menjadi semakin panjang. Alex berharap tahun ini bakal semakin banyak unit usaha, termasuk di dunia arung jeram, mendapatkan sertifikat CHSE.
Dia meyakini masih banyak surga arung jeram yang tersembunyi di Tanah Air yang kaya dengan sungai dan siap untuk menjadi tempat wisata baru di kemudian hari.
Pada Agustus 2020, FAJI menyebutkan dampak pandemi COVID-19 terhadap operator wisata arung jeram di Indonesia selama empat bulan mencapai Rp39,9 miliar akibat penutupan sementara aktivitas sebagai upaya mencegah penyebaran virus tersebut.
Per Februari 2021, sebanyak 74 persen dari 185 operator arung jeram di 18 provinsi Indonesia sudah mulai beroperasi meski orang-orang di baliknya juga bekerja di tempat lain untuk memenuhi kebutuhan. Baru 12 persen yang betul-betul berjalan seperti sebelumnya, sementara 14 persen masih belum beroperasi.
Tahun ini, Amalia mengatakan ada program penguatan pembangunan keterampilan dan kemampuan untuk para pemandu lewat pelatihan daring yang didukung oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif.
"Kami ingin punya wajah baru setelah pandemi selesai, dengan produk yang lebih berkualitas dan berdaya saing," ujar dia.
Arung jeram dapat menjadi tempat melepas jenuh selama berdiam diri di rumah, tetapi FAJI mengatakan masih ada kendala yang dihadapi operator terkait dengan situasi yang membuat masyarakat harus lebih hati-hati dan merogoh kocek lebih dalam bila ingin liburan jarak jauh karena harus menjalani tes untuk membuktikan bebas dari COVID-19.
Baca juga: Sandiaga ingatkan desa wisata disiplin terapkan protokol kesehatan
Dengan kondisi perekonomian yang menantang, masyarakat juga belum berani mengeluarkan dana besar di luar hal esensial karena belum tahu kapan situasi kembali normal.
"Yang dicari yang diskon-diskon, sementara operator dengan prokotol kesehatan jadi punya pengeluaran tambahan, kapasitas dibatasi sehingga tidak berada di posisi yang bisa memberikan harga lebih murah," jelas Amalia, menambahkan itulah alasan mengapa ada operator yang memilih untuk belum beroperasi kembali.
Ia menjelaskan, di beberapa daerah yang digandrungi wisatawan domestik, sudah ada pergerakan minat wisatawan. Kehadiran vaksin juga mempengaruhi rasa percaya diri masyarakat, imbuh dia.
"Kecuali daerah yang pasarnya tergantung dari pasar internasional seperti Bali, relatif belum ada pergerakan. Tapi di daerah luar itu seperti di Jawa, di mana pasarnya banyak wisatawan lokal, Sumatera juga, mulai ada peningkatan."
Operator arung jeram kini menerapkan protokol kesehatan untuk menjaga keamanan dan kenyamanan para wisatawan selama beraktivitas. Para pengunjung juga tetap diminta menerapkan protokol kesehatan seperti memakai masker, menjaga jarak dan mencuci tangan. Masker harus selalu dipakai, kecuali saat berada di sungai.
Namun belum banyak operator arung jeram yang mendapatkan sertifikasi "Clean, Health, Safety and Environment" (CHSE) dari pemerintah, program yang digagas sebagai jaminan kepada wisatawan dan masyarakat bahwa produk dan pelayanan yang diberikan sudah memenuhi protokol kebersihan, kesehatan, keselamatan dan kelestarian lingkungan.
Per Februari, baru 13 operator yang mendapatkan sertifikasi tersebut. Amalia mengatakan, waktu yang dibutuhkan operator untuk melengkapi persyaratan CHSE menjadi salah satu tantangan.
"Untuk dapat sertifikat itu kan enggak mudah, banyak item yang harus diikuti yang mungkin sebelumnya belum ada, itu mungkin yang jadi kendala juga."
Ia berharap akan semakin banyak operator yang mendapatkan sertifikat CHSE agar wisatawan semakin yakin dan tidak khawatir untuk datang.
Direktur Wisata Alam, Budaya dan Buatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Alexander Reyaan, mengatakan sertifikasi CHSE adalah sebuah pengakuan yang bisa didapat lewat berbagai persyaratan. Mereka yang mendapat sertifikat sudah terjamin menjalankan protokol kesehatan yang baik demi kenyamanan wisatawan.
Salah satu syarat yang harus dilengkapi adalah memiliki izin Tanda Daftar Usaha Pariwisata (TDUP). Tahun lalu, ada sebagian operator yang belum bisa mendapatkan sertifikasi karena belum memiliki TDUP. Alex menjelaskan, masih ada operator arung jeram yang beroperasi dengan mendapatkan izin pemanfaatan jasa lingkungan dari lokasi setempat untuk menyelenggarakan aktivitas tersebut, tetapi belum memiliki Tanda Daftar Usaha Pariwisata.
"Jadi kita tidak bisa memberikan sertifikasi operator minat khusus arung jeram atau (unit usaha pariwisata) apa pun yang belum punya izin," kata Alex.
Sementara itu, butuh waktu untuk mendapatkan TDUP sehingga proses mendapatkan sertifikasi CHSE menjadi semakin panjang. Alex berharap tahun ini bakal semakin banyak unit usaha, termasuk di dunia arung jeram, mendapatkan sertifikat CHSE.
Baca juga: Purwakarta tawarkan puluhan destinasi wisata