Hakim pertanyakan payung hukum kriteria kelulusan ke mantan Rektor Unri

id Lampung,Bandarlampung,Suap KPK,Bandar Lampung,sidang suap unila

Hakim pertanyakan payung hukum kriteria kelulusan ke mantan Rektor Unri

Rektor Universitas Riau (Unri) periode 2014-2022 Prof Aras Mulyadi saat memberikan kesaksian pada sidang lanjutan kasus suap penerimaan mahasiswa baru (PMB) Unila, di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung, Kamis (9/2/2023). ANTARA/Dian Hadiyatna.

Apa yang jadi dasar hukumnya rektor dapat meluluskan mahasiswa.
Bandarlampung (ANTARA) - Majelis hakim sidang kasus suap penerimaan mahasiswa baru (PMB) Universitas Lampung (Unila) tahun 2022 mempertanyakan payung hukum kriteria kelulusan mahasiswa kepada Rektor Universitas Riau (Unri) periode 2014-2022 Prof Aras Mulyadi.

Hal tersebut dikarenakan saksi Aras Mulyadi yang juga Ketua Panitia Pelaksana PMB Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Wilayah Barat, memberikan keterangan bahwa rektor memiliki kewenangan meluluskan mahasiswa pada jalur mandiri.

"Apa yang jadi dasar hukumnya rektor dapat meluluskan mahasiswa. Setiap kebijakan harus didasari payung hukum," kata ketua majelis hakim Lingga Setiawan, dalam sidang lanjutan kasus suap PMB Unila, di Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung, Kamis.

Ia mengatakan bahwa apabila kelulusan calon mahasiswa tergantung rektor, artinya hal tersebut bersifat subjektif. Sehingga seharusnya terdapat payung hukum yang mendasarinya.

"Jadi penilaian tidak subjektif dari rektor," kata dia pula.

Dia pun menekankan, perlu adanya kejelasan terkait sistem afirmasi dan passing grade dalam proses penerimaan mahasiswa baru.

"Saya sangat terganggu kalau ditanya soal afirmasi, jawabannya diperuntukkan bagi keluarga kampus atau dosen, karena anak semua orang juga ingin kuliah termasuk anaknya hakim, anak wartawan," kata dia lagi.

Rektor Unri periode 2014-2022 Prof Aras Mulyadi mengatakan bahwa dalam dalam kesepakatan yang dibuat oleh rektor di wilayah barat terdapat kuota 30 persen PMB afirmasi yang kelulusannya diserahkan rektor tanpa menghilangkan kendali mutu.

"Untuk afirmasi ini kami mengadopsi proses yang ada di kementerian, yang diberikan untuk calon mahasiswa asal Papua dan daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Kemudian di PKS itu kewenangan afirmasi 30 persen diberikan ke masing-masing rektor, apakah itu untuk putra daerah atau putra-putri dosen," kata dia.

Ia pun mengatakan bahwa setiap perguruan tinggi negeri diberi hak untuk menentukan kuota PMB sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dimana dari 100 persen kuota dibagi menjadi dua bagian yakni 70 persen kelulusan ditentukan oleh sistem yang telah ditetapkan dan 30 persen lainnya ditentukan oleh rektor masing-masing PTN melalui jalur afirmasi.

"Dari kuota 100 persen, 70 persen lulus ditentukan sistem, sedangkan 30 persen diserahkan ke rektor masing-masing melalui jalur afirmasi. Begitu pula untuk kriteria afirmasi diserahkan kepada rektor masing-masing," kata dia lagi.

Aras pun mengatakan bahwa jalur afirmasi, tidak ditentukan atau berpatokan dengan nilai passing grade yang harus dipenuhi calon mahasiswa, namun menurut aturan juga harus memperhatikan kendali mutu para calon mahasiswa.

"Patokan nilai passing grade memang tidak ada, jadi diserahkan ke masing-masing rektor," ujarnya.

JPU KPK menghadirkan enam saksi yakni mantan Rektor Unri Prof Aras Mulyadi, Direktur Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) Budi Prasetyo, dosen Universitas Sriwijaya (Unsri), dan Sekretaris BKS-PTN Wilayah Barat Entis Sutisna.

Keenam saksi tersebut dihadirkan untuk bersaksi terhadap tiga terdakwa, yakni mantan Rektor Unila Prof Karomani, Wakil Rektor I Bidang Akademik Unila nonaktif Prof Heryandi, dan Ketua Senat Unila nonaktif Muhammad Basri.
Baca juga: Mantan Rektor Unri jadi saksi sidang lanjutan kasus suap PMB Unila
Baca juga: Direktur Eksekutif LTMPT sebut penerimaan PMB kewenangan rektor