Pengharapan kaum termarginal di balik keterpurukan akibat krisis kesehatan

id Corona lampung, masyarakat ekonomi rentan, ekonomi lampung

Pengharapan kaum termarginal di balik keterpurukan akibat krisis kesehatan

Seorang petani di Lampung Timur tengah membajak sawah. ANTARA/Ruth Intan Sozometa Kanafi.

Saya berprinsip semua kesulitan yang terjadi pasti akan ada jalan penyelesaian kalau dilakukan dengan ikhlas,dan tetap memiliki pengharapan. Apalagi petani ini memiliki tugas mulia yaitu menyediakan makanan bagi semua orang, ini yang jadi semangat sa

BANDARLAMPUNG (ANTARA) - Krisis kesehatan yang terjadi kali ini cukup terasa berbeda dibanding krisis kesehatan yang terjadi di masa lampau. Corona virus desease atau yang lazim disebut COVID-19 telah menciptakan ragam kisah dan pengalaman yang takkan pernah terkikis dari ingatan setiap manusia yang merasakan kehadirannya selam dua tahun ini.

Sebanyak 4.244.358 jiwa telah terpapar virus yang datang tanpa permisi. Dari jutaan orang yang terpapar ada yang dapat kembali pulih seperti sedia kala adapula yang memilih menyerah dan tidur tenang menuju Sang Khalik.

Pandemi yang tak kunjung usai ini tidak hanya mengguncang jiwa, juga telah mempengaruhi beragam sendi kehidupan manusia tak terkecuali di tanah Lampung.

Raung tangis, kekalutan, ketegaran, kepedulian, bercampur aduk menghiasi cerita kehidupan masyarakat dalam beberapa waktu ini, dan menjadi kisah berkepanjangan yang belum menunjukkan akhir.

Krisis kesehatan itu pun kini mewajibkan semua elemen beradaptasi dengan gesit merubah ragam kebiasaan lama menjadi kebiasaan-kebiasaan baru bahkan bertolak belakang dengan keseharian agar mampu bertahan.

Dalam menangani krisis kesehatan tersebut pemerintah pun telah mengeluarkan beragam kebijakan yang tentunya bertujuan untuk menekan kasus terkonfirmasi positif dan kematian akibat COVID-19.

Namun di balik semuanya upaya tersebut ada beragam kisah kehidupan yang tak kasat mata, terpendam tak pernah terucap. Kerja keras, pengharapan, ketekunan, bahkan terkadang raungan kaum termarginal atau masyarakat ekonomi rentan dalam menghadapi krisis kesehatan jarang mencuat dan mampu menuturkan sepatah dua patah kata kepada dunia.

Meski tak bermegahkan harta, masyarakat ekonomi rentan itu bermegah dalam pengharapan. Karena kesengsaraan hidup telah biasa mereka alami dan telah menghasilkan ketekunan.  Ketekunan itu pun kini telah menghasilkan tahan uji serta mewujudkan pengharapan yang kuat menahan sulitnya kehidupan dalam dua tahun ini.

Miswan salah seorang nelayan menceritakan kisahnya dimana pandemi COVID-19 sempat mengguncang ekonomi keluarganya, pada awal pemberlakuan pembatasan. Hampir semua nelayan berhenti melaut dan menjajarkan kapalnya untuk sementara waktu, tanpa penghasilan, kehilangan mata pencaharian utama dan bekerja serabutan sempat ia rasakan.

Tak hanya itu dirinya pun harus menyisihkan sedikit  penghasilan yang mungkin hanya mampu menghidupkan kebul asap dapur, untuk memenuhi kebutuhan sekolah daring putra putrinya.

Semangat untuk bertahan hidup

Meski aturan untuk tetap berdiam diri di rumah diberlakukan bagi semua warga negara untuk sementara waktu, dirinya terkadang memilih untuk tetap bekerja serabutan. Bukan tak peduli akan penularan COVID-19 tapi baginya ketakutan terbesarnya ialah tidak terpenuhinya kebutuhan keseharian keluarga, dan menghilangkan rasa lapar bagi putra putrinya yang setia menunggu di rumah kayu sederhana bercat putih itu.

Dia pun sempat merasakan ragam gejala yang menjurus kepada salah satu penyakit yang saat ini telah bermutasi menjadi berbagai varian itu. Namun semangat menafkahi keluarga telah membuatnya mampu bertahan dan menepis semua rasa sakit.

"Sempat ada gejala ke sana, tapi kita kasih obat warung dan semangat untuk mencari uang untuk keluarga jadi bisa sembuh dengan sendirinya, waktu awal COVID-19 kerja serabutan karena semua berhenti melaut," ujar pria yang telah 15 tahun berprofesi sebagai nelayan.

Menurut pria dengan perawakan kecil itu, tidak hanya awal kedatangan pandemi COVID-19  yang sempat menghambat jalannya perekonomian bagi para nelayan,saat ini pun kesukaran perekonomian masih dirasakan meski telah mulai berangsur pulih sedikit demi sedikit.

Pembatasan mobilitas masyarakat dan jam operasional pasar swalayan, telah membuat minat masyarakat untuk membeli sejumlah komoditi perikanan menurun. Secara nyata juga telah mempengaruhi pendapatan para nelayan yang bermukim di sepanjang pesisir laut Lampung.

“Pendapatan memang menurun karena tidak ada yang membeli, sedangkan kita saat ini sudah mulai melaut jadi barang terkadang tidak banyak yang terjual. Tapi sudah mulai membaik setelah keadaan bisa sedikit terkendali jadi pengorbanan tidak melaut dulu tidak sia-sia,” katanya.

Semangat dan kerelaan untuk berkorban dan mengesampingkan ego pribadi dalam masa sulit diceritakan oleh salah seorang buruh tani, Suparno.

Bagaikan menelusuri lorong waktu pria paruh baya itu menuturkan sejumlah hal yang ia harus lakukan secara tiba-tiba di masa meningkatnya kasus terjangkit COVID-19.

Menurutnya, sebagai buruh tani yang tiap harinya bekerja mengelola lahan milik orang lain, pada awalnya ia merasa cukup terbebani dengan adanya aturan wajib bermasker. Bukan tanpa alasan dia berfikir dengan mengenakan alat pelindung diri tersebut telah menambah biaya kehidupan sehari-hari yang biasanya pun belum cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Dengan jumlah modal yang dikeluarkan dalam mengelola beberapa bidang sawah sewaan itu, ia merasakan dengan adanya pandemi kebutuhan keseharian semakin membengkak dengan jumlah penghasilan yang tidak meningkat.

“Kadang ada modal dari hasil panen sebelumnya sudah habis untuk beli pupuk, membayar pompa air untuk pengairan sawah, lalu untuk beli benih, dan untuk biaya keseharian saja kurang banyak. Kemarin sempat kaget saat diminta pakai masker, sebab kan harganya waktu dulu tidak semurah sekarang,” ucapnya dengan perlahan.  

Akan tetapi lambat laut dirinya sadar bahwa di masa krisis kesehatan peran para petani dan buruh tani dalam menjaga ketahanan pangan menjadi hal krusial, sehingga menjaga kesehatan diri menjadi hal utama yang harus ia jaga, terlebih lagi kini dirinya telah memasuki masa lansia.

“Kita awalnya mendapatkan bantuan masker dari kecamatan, jadi saya memanfaatkan bantuan itu. Untuk bertani tetap dilakukan meski keadaan sulit karena semua orang membutuhkan petani supaya bisa makan nasi, jadi kita tetap bertahan meski  sempat juga tidak bisa mencium atau merasakan makanan yang mungkin saja karena kena virus corona,” katanya.

Meski dalam keadaan yang cukup sulit pria paruh baya tersebut tetap optimis melewati beragam kesukaran di tengah krisis kesehatan yang masih belum usai, dengan semangat untuk menghasilkan panen melimpah untuk menjaga kesejahteraan keluarga dan juga menjaga kebutuhan konsumsi masyarakat.

“Saya berprinsip semua kesulitan yang terjadi pasti akan ada jalan penyelesaian kalau dilakukan dengan ikhlas,dan tetap memiliki pengharapan. Apalagi petani ini memiliki tugas mulia yaitu menyediakan makanan bagi semua orang, ini yang jadi semangat saya untuk bertahan di tengah situasi sulit,” ujarnya dengan suara parau.

Di masa sulit terutama di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlangsung setiap orang memiliki ragam kesusahannya sendiri serta memiliki solusi atas permasalahan tersebut, hal tersebut  tidak jauh berbeda bagi masyarakat ekonomi rentan yang ada di Lampung. Mempertahankan sesuatu hal layaknya kesejahteraan keluarga ataupun niatan untuk menyejahterakan orang banyak melalui profesi yang digeluti menjadi salah satu contoh pemacu semangat bagi masyarakat ekonomi rentan untuk terus bertahan dan berkarya meski dalam keterbatasan.