AJI Bandarlampung Soroti Kekerasan Jurnalis dan Independensi Redaksi

id Ketua aji,Padli ramadhan

AJI Bandarlampung Soroti Kekerasan Jurnalis dan Independensi Redaksi

Padli Ramdan, Ketua AJI Bandarlampung (ist)

Bandarlampung (Antaranews Lampung ) - Angka kasus kekerasan yang dialami wartawan, mulai dari pelarangan meliput, pengusiran, kekerasan fisik dan verbal, hingga perampasan alat kerja di Provinsi Lampung selama tahun 2018 sama dengan tahun sebelumnya.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandarlampung mencatat telah terjadi lima kasus kekerasan terhadap wartawan selama tahun 2017 maupun 2018.

Ketua AJI Bandarlampung Padli Ramdan dalam pernyataan disampaikan di Bandarlampung, Kamis, mengatakan pada tahun 2017 mayoritas terduga pelaku kekerasan terhadap wartawan adalah oknum aparat kepolisian, sedangkan 2018 terduga pelaku kekerasan didominasi oleh oknum aparatur sipil negara atau ASN.

Dari lima kasus kekerasan pada 2018, empat kasus melibatkan ASN, dan satu kasus lainnya diduga dilakukan oknum anggota TNI yang menghalangi jurnalis saat hendak melakukan konfirmasi kepada narasumber.

"Pengusiran, perampasan alat kerja wartawan, dan kekerasan fisik serta verbal diduga dilakukan oknum ASN," kata Padli dalam keterangan persnya.

Menurutnya, perampasan alat kerja wartawan diduga dilakukan oleh tenaga honorer di Pemerintah Kabupaten Pesawaran karena keberatan difoto ketika sedang duduk saat upacara bendera.

Pengusiran diduga dilakukan salah satu oknum kepala sekolah di Kabupaten Lampung Tengah, dan kekerasan fisik diduga dilakukan oknum camat di Kabupaten Lampung Tengah. Kekerasan berupa memegang kerah baju wartawan sekaligus mengajak berkelahi.

AJI Bandarlampung menyesalkan beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan yang berakhir damai tanpa ada penanganan yang tegas terhadap pelaku.

Seharusnya pelaku kekerasan diberi sanksi, seperti peringatan keras hingga diproses hukum oleh pejabat di atasnya agar muncul efek jera, kata Padli, didampingi Sekretaris AJI Bandarlampung Wandi Barboy.



Independensi Redaksi

Mengevaluasi peristiwa selama tahun 2018, AJI Bandarlampung mengajak wartawan untuk melakukan evaluasi terkait penerapan kode etik jurnalistik dan profesionalisme.

Pasalnya beberapa kasus kekerasan terhadap wartawan dipicu oleh ketidakprofesionalan jurnalis, seperti membuat berita tidak berimbang dan tanpa upaya keras untuk melakukan konfirmasi kepada narasumber yang diperlukan.

AJI Bandarlampung, kata Padli, juga menyoroti praktik ganda yang dilakukan media terhadap para wartawannya. Ada media cetak dan siber yang menugaskan wartawannya untuk melakukan penagihan uang iklan, advertorial, hingga langganan koran.

Pasalnya, beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis terjadi saat mereka melakukan aktivitas yang berkaitan dengan kepentingan bisnis media, bukan saat mereka melakukan aktivitas jurnalistik.

Profesi wartawan menuntut kedisiplinan dan konsentrasi tinggi, sehingga jurnalis kritis dengan isu-isu yang menjadi perhatian publik, tuturnya.

"Menugaskan wartawan di luar aktivitas jurnalistiknya, seperti menagih uang perusahaan, bertolak belakang dengan prinsip `firewall` atau pagar api. Ruang redaksi harus dipisahkan dengan bisnis, sehingga bisa mempertahankan independensinya dari berbagai kepentingan," ucap Padli.

Ketua AJI Bandarlampung itu menambahkan, independensi ruang redaksi harus dijaga, sehingga produk jurnalistik yang dihasilkan media dipercaya publik. Independensi adalah ruh jurnalisme agar pers bisa semakin meneguhkan keberadaannya sebagai penghasil informasi yang kredibel dan layak dipercaya kebenarannya.