Jakarta (ANTARA) -
Dompet Dhuafa dan Bina Trubus Swadaya kembali menggelar Forum Grup Diskusi (FGD) Kebudayaan ke-4 bertajuk ‘Kepemimpinan Profetik Untuk Pemberdayaan Masyarakat’ di Gedung Filantropi, Jakarta, yang dikemas dalam bentuk refleksi dan pentas seni budaya.
Kegiatan yang dilaksanakan dengan misi mengaplikasikan nilai-nilai luhur kepemimpinan ini mengajak kalangan generasi muda untuk terus memberdayakan kebudayaan yang dimiliki.
Ketua Pengurus Yayasan Dompet Dhuafa Republika, Ahmad Juwaini pada sambutannya menyampaikan, Dompet Dhuafa memilih transformasi kebudayaan sebagai pendekatan dalam pemberdayaan. Dengan pendekatan budaya, pemberdayaan akan mengakar lebih kuat, lebih terasa, dan lebih natural.
Selain itu, acara ini merupakan refleksi budaya, sekaligus pentas seni budaya yang tidak hanya menampilkan kekayaan tradisi kita. Tetapi juga menjadi simbol perwujudan nilai-nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari.
"Kami berharap bisa memperlihatkan keindahan dari semangat gotong-royong rasa saling menghormati, keberagaman, serta menguatkan kepemimpinan profetik yang dapat memberdayakan masyarakat," ujar Ahmad Juwaini.
Emilia Setyowati selaku Sekretaris Yayasan Bina Trubus Swadaya di sela-sela acara mengharapkan FGD Kebudayaan dapat memberikan dampak yang sangat luar biasa untuk bangsa Indonesia, terutama masyarakat yang masih ada di bawah garis kemiskinan.
"Tema kepemimpinan kali ini diambil karena kepemimpinan, bak sebuah akar tunjang dari sebuah pohon, pohon ini bernama Indonesia. Pohon kuat, akarnya kuat, tentu akan membawa akar-akar serabutnya kembali pada sebuah negara yang kuat, negara Indonesia. Dan kami sangat berharap pemimpin yang menginspirasi, pemimpin yang dapat memberikan manfaat bagi rakyatnya, tentu adalah pemimpin yang memberdayakan, bukan memperdayakan," ujarnya.
Emilia juga menyoroti serius tentang fenomena gempuran budaya Korea Selatan atau K-POP yang menjangkiti generasi muda, bahkan sebagian orang tua. Menurut Emilia, kebudayaan modern Korea Selatan telah menjadi acuan gaya hidup generasi-generasi muda.
"Jadi, ini yang terjadi di negara ini, akan sangat luar biasa bila Dompet Dhuafa dan Bina Swadaya mempromosikan budaya-budaya kita. Karena budaya kita seperti dari Kediri, yang dipentaskan di seni ketoprak ini tidak jauh lebih buruk, bahkan jauh lebih bagus dibandingkan Joseon yang sekarang ada," ungkap Emilia.
"Mari kita gelorakan promosi budaya nasional untuk teman-teman kita, untuk adik-adik kita, generasi-generasi muda, bahwa budaya yang kita miliki benar-benar luar biasa. Budaya ini akan membawa kita pada kemakmuran bangsa Indonesia. Kita yakin bahwa Indonesia mampu berjaya di kancahnya hingga saat ini," tambah Emilia.
Sri Sultan Hamengkubuwono X, dalam sambutannya yang diwakili oleh Ketua Paguyuban Suluk Nusantara, Bambang Wiwoho mengatakan upaya pengentasan kemiskinan, budaya dan pemberdayaan masyarakat, harus menjadi fondasi utama yang menggerakkan setiap lapisan bangsa. Upaya itu membawa kita dari sekadar membangun angka, melainkan menjadi gerakan untuk mencipta sebuah peradaban yang adil dan sejahtera.
Pada bingkai keistimewaan Yogyakarta, konsep "Gumrégah" atau “Bangkit Bersama” bukan sekadar simbol, tetapi panggilan yang menggugah kesadaran akan kekuatan budaya, dalam menyatukan langkah menuju kesejahteraan. Di sinilah inti renaisans atau kebangkitan yang memanusiakan dan memuliakan setiap insan bangsa.
“Untuk mencapainya, pendidikan karakter menjadi kunci. Dari sekadar “mindset” menuju “culture-set”, pendidikan karakter adalah upaya mendasar dalam membentuk masyarakat yang literat, mandiri, dan penuh empati. Kita tidak sekadar mengajarkan nilai, tetapi menanamkan karakter yang mengakar dan tumbuh, menjadi budaya hidup yang menyatu dalam diri setiap individu,” ujarnya.
Pada FGD ke-4 menampilkan seni budaya ketoprak dengan mengangkat kisah ande-ande lumut dengan dukungan para seniman dari Jawa Timur hingga artis-artis nasional. Gelaran pentas budaya ketoprak hari itu merupakan sebuah gagasan kreatif yang lahir dari keresahan sekaligus kekayaan warisan budaya Indonesia.
Lakon utamanya diperankan langsung oleh Parni Hadi selaku Inisiator dan Ketua Dewan Pembina Yayasan Dompet Dhuafa Republika sebagai Raja Jenggala, sebuah kerajaan yang terdapat di Jawa Timur, diikuti Widyanto Dwi Nugroho sebagai Ande Ande Lumut, lalu Maria Lusiani Tjahjanadewi sebagai Klenting Kuning.
Berita kerja sama