Jakarta (ANTARA) - Chelsea yang kini begitu hebat, sungguh berbeda dari Chelsea ketika miliarder Rusia, Roman Abramovich, membelinya seharga Rp2,6 triliun pada 2003.
Ketika Abramovich mengakuisisi tahta Stamford Bridge, Liga Premier masih didominasi oleh Manchester United dan Arsenal.
Namun begitu miliarder Rusia yang juga politisi dan disebut-sebut bagian dari oligarki yang menyangga kekuasaan Presiden Rusia Vladimir Putin itu membelinya pada 2003, dominasi itu dirobohkan oleh Chelsea.
The Blues pun berubah dari yang semula tertatih-tatih di ambang krisis keuangan menjadi salah satu klub terkaya di dunia berkat suntikan dana besar yang tak ada habisnya dari Abramovich.
Sejak itu juga Chelsea menyandang predikat baru, yakni klub yang paling royal berbelanja, entah untuk membetot pemain-pemain hebat atau guna merekrut pelatih-pelatih berekam jejak cemerlang penuh gelar.
Abramovich sudah memompakan total pinjaman Rp18,6 triliun kepada Chelsea melalui Fordstam Limited yang adalah lengan usaha yang dipakainya untuk menguasai The Blues.
Namun pada periode Juli 2020 sampai Juni 2021, Chelsea menelan rugi bersih Rp2,7 triliun.
Meskipun demikian, berkat uang yang tak ada habisnya itu, dan juga komitmen serta cinta total Abramovich kepada klub ini, Chelsea berhasil mengumpulkan 19 piala selama 19 tahun dalam kendali dia.
Itu termasuk lima trofi juara Liga Premier, lima Piala FA, dan dua trofi Liga Champions.
Dua bulan lalu di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, The Blues bahkan menuliskan catatan baru dalam 117 tahun sejarah mereka dengan menjuarai Piala Dunia Klub. Mereka pun menjadi salah satu klub besar yang menjuarai semua kompetisi besar sepak bola.
Abramovich juga menciptakan tren gelombang investasi asing di Liga Inggris. Pengusaha Amerika membeli Arsenal, Liverpool dan Manchester United, Abu Dhabi mengakuisisi Manchester City sampai 10 gelar pun direnggutnya, dan terakhir Newcastle yang saat ini dikendalikan konsorsium pimpinan Arab Saudi.
Kemudian, pada saat klub-klub besar Eropa dan Liga Inggris merintih kesakitan ditimpa dampak buruk pandemi COVID-19 terhadap performa keuangan klub, Chelsea justru menjadi salah satu dari sedikit klub yang angkuh menjinakkan dampak krisis akibat pandemi.
Mereka menjadi klub pertama yang keluar dari proposal Liga Super Eropa yang digagas segelintir klub besar Eropa yang merugi akibat pandemi, begitu penggemar dan komunitas sepak bola mengecam gagasan itu.
Seperti Paris Saint Germain dan Bayern Muenchen yang sejak awal menolak Liga Super Eropa, dan juga Manchester City yang sempat terbawa-bawa dalam proposal itu, Chelsea merasa tak perlu terlalu kemaruk seperti itu karena memiliki mesin ATM yang tak henti mencetak uang pada diri Abramovich.
Jadi terbelenggu
Tetapi kini, akibat invasi Rusia ke Ukraina yang membuat negara-negara Barat membidik siapa pun dan entitas apa pun yang dianggap menyangga ambisi Vladimir Putin yang sejak akhir Februari lalu menginvasi Ukraina, kesuperkayaan Chelsea itu seketika tergugat.
Adalah sanksi yang dijatuhkan pemerintah Inggris kepada tujuh individu Rusia yang diumumkan Kamis lalu yang membuat Chelsea terjerembab dalam ketidakpastian yang amat sangat.
Sanksi ini sendiri kelanjutan dari sanksi putaran pertama yang sudah lebih dulu dijatuhkan kepada pejabat-pejabat Rusia dan Vladimir Putin sendiri.
Abramovich dan enam eksekutif Rusia lainnya dianggap kroni Vladimir Putin yang berperan besar dalam melumasi mesin-mesin perang Putin yang kini dipakai di Ukraina.
Abramovich melalui perusahaan baja miliknya, Evras, dituding telah menyediakan material untuk membantu Rusia memproduksi tank tempur yang kini digunakan untuk menginvasi Ukraina.
Abramovich masuk daftar tujuh individu bertotal kekayaan bersih Rp280 triliun yang dijatuhi sanksi oleh pemerintah Inggris.
Juga masuk daftar itu Igor Sechin yang eksekutif perusahaan minyak Rosneft milik Rusia, kemudian Andrey Kostin yang memimpin bank terbesar kedua di Rusia, VTB Bank, dan pengusaha Nikolai Tokarev yang jebolan dinas rahasia KGB seperti halnya Putin.
Sanksi terhadap Abramovich mengartikan semua assetnya di Inggris dibekukan, termasuk Chelsea. Padahal beberapa hari sebelum sanksi ini, Abramovich menyatakan akan menjual The Blues.
Karena asset dibekukan, Chelsea pun menjadi terbelenggu. Mereka kini di bawah kendali pemerintah Inggris lewat izin khusus pemerintah.
Kecuali dalam rangka memastikan Chelsea bisa menjalani semua jadwal laganya dalam berbagai kompetisi dan guna menjamin gaji pemain serta pelatih dan staf lainnya dibayarkan, izin khusus ini membuat Chelsea bagaikan orang kaya yang sama sekali tak bisa menggunakan uangnya sendiri.
Mereka tak boleh masuk bursa transfer pemain, baik untuk membeli maupun untuk menjual pemain. Ini membuat pusing pemain-pemain seperti Antonio Rudiger, Cesar Azpilicueta dan Andreas Christensen yang habis kontrak akhir musim ini.
Chelsea juga tak boleh lagi menjual tiket pertandingan sehingga hanya yang memiliki tiket musiman atau yang sudah membeli tiket sebelum tanggal 10 Maret ketika sanksi Abramovich dijatuhkan, yang boleh menyaksikan pertandingan Chelsea, baik kandang maupun tandang.
Pemerintah Inggris juga melarang penjualan merchandise terkait Chelsea, namun pemegang hak siar masih dibolehkan menyiarkan pertandingan klub ini.
Pemerintah Inggris juga mengambil alih proses jual beli Chelsea sehingga Abramovich tak akan mendapatkan apa pun dari penjualan klub miliknya ini.
Tanggung jawab Putin
Calon pembeli Chelsea juga diharuskan bertanya kepada pemerintah Inggris sebelum mengajukan penawaran. Tapi kabar baiknya, Chelsea mungkin bisa mereka beli di bawah 3 miliar pound (Rp56 triliun) sebagaimana diinginkan Abramovich.
Di sisi lain, intervensi pemerintah bisa membuat penggemar Chelsea mengimbuhkan pasal baru dalam kontrak kepemilikan klub.
Kelompok pendukung mereka, Chelsea Supporters Trust (CST), sudah mendesak pemerintah Inggris agar melibatkan pendukung klub ini dalam proses jual beli hak kepemilikan Chelsea.
Tapi kebanyakan penggemar Chelsea tetap memuja Abramovich. Mereka ingin mendapatkan pemilik seperti miliarder Rusia itu yang komitmennya total kepada klub ini, sampai tak ragu menggelontorkan uang sebesar apa pun demi menjadikan The Blues tetap di puncak kompetisi.
Sebagian komunitas Chelsea berusaha pragmatis. Salah satunya manajer mereka, Thomas Tuchel.
Tuchel berusaha mempercayai pemerintah Inggris dengan menyampaikan keyakinan bahwa mereka bakal bisa menjaga The Blues tetap menjalani semua pertandingannya musim ini termasuk Liga Champions yang mengharuskan mereka terbang ke luar Inggris. Tuchel juga yakin pemerintah Inggris bisa memastikan Chelsea tetap aktif dalam bursa transfer musim panas nanti.
Pembekuan asset membuat Chelsea tak bisa menggunakan kas mereka sehingga tergantung kepada dana pemerintah yang lebih kecil dibandingkan yang biasa dikeluarkan Chelsea, apalagi sponsor-sponsor mulai meninggalkan The Blues, termasuk perusahaan telekomunikasi mobile Three.
Nyaris tak ada yang menyalahkan pemerintah Inggris. Manajer Liverpool Juergen Klopp malah terang-terangan menyatakan pemerintah Inggris sudah tepat menjatuhkan sanksi kepada Abramovich, tanpa menyalahkan si miliarder Rusia ini.
"Ini bukan keadaan yang menjadi tanggung jawab Chelsea. Ini tanggung jawab seorang saja dan itu adalah Vladimir Putin," tandas Klopp menjelang pertandingan melawan Brighton & Hove Albion seperti dikutip Reuters.
Lalu, sampai kapan ini terjadi? Kemungkinan besar sampai pembeli baru Chelsea ada, walaupun proses administrasi kepemilikan klub di Inggris bisa memakan waktu berbulan-bulan, apalagi Abramovich masih bisa menjadi faktor dalam akuisisi itu.
Tapi secara umum gonjang ganjing ini mungkin bisa mereda seandainya Putin menghentikan invasinya di Ukraina dan menarik pasukan Rusia dari negara itu.
Karena kalaupun Rusia akhirnya menaklukkan Ukraina dan menduduki Kiev yang tengah dikepungnya, sanksi Barat termasuk Inggris, diperkirakan bakal semakin keras dan melebar kepada siapa pun dan negara mana pun yang memiliki kaitan kepentingan dengan Rusia.
Ini bisa membuat keadaan yang sulit bertambah sulit, termasuk dunia olahraga dan sepak bola Inggris. Dan Chelsea sudah dalam keadaan itu.