Jakarta (ANTARA) - Psikolog Ninuk Widyantoro mendukung upaya pencegahan dalam pelaksanaan female genital mutilation (FGM) atau sunat bagi perempuan.
"Saya kira pencegahan yang lebih luas itu hal yang baik dari segi kesehatan, psikologi," kata Ninuk dalam Webinar Series Pencegahan Pelukaan dan Pemotongan Genitalia Perempuan (P2GP) dengan tema "P2GP dari Perspektif Kesehatan" yang diikuti secara daring di Jakarta, Kamis (16/12).
Hal itu karena penyembuhan trauma akibat tindakan FGM melalui terapi tidak selalu mudah dilakukan karena ada sebagian orang yang tidak bisa mengingat traumanya sehingga bisa menyulitkan proses terapi penyembuhan trauma.
"Jadi bisa diterapi tapi tidak selalu mudah untuk diterapi," katanya.
Pelaksanaan FGM bisa menyebabkan trauma bagi perempuan yang menjalaninya.
"Yang menyebabkan seseorang itu jika berkaitan dengan memori buruknya membuat dia teringat kembali peristiwa itu dan menunjukkan reaksi yang sangat ketakutan, dia menolak dan sebagainya," katanya.
Hal senada dikatakan Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Erna Mulati.
Erna menyebut perempuan yang disunat dapat mengalami trauma psikologis yang berkepanjangan.
"Trauma psikologisnya bisa puluhan tahun. Dan ini tentu juga memberikan dampak yang negatif terkait dengan kontrol emosional," katanya.
Tak hanya menyebabkan trauma, FGM juga berdampak terjadinya perdarahan.
Kemudian ada rasa nyeri berlebihan yang memungkinkan perempuan pingsan serta bisa terjadi syok karena perdarahan yang dialami.
Dampak lainnya terjadinya infeksi saluran kencing serta tidak bisa merasakan kebahagiaan saat berhubungan suami istri.
Baca juga: KPPPA menyusun rencana aksi untuk mencegah sunat perempuan
Baca juga: Musyawarah Ulama Pesantren II terbitkan rekomendasi cegah sunat perempuan