Jakarta (ANTARA) - Peraih Hadiah Nobel Perdamaian dan jurnalis asal Filipina, Maria Ressa, menyoroti algoritma yang digunakan dalam distribusi berita oleh platform-platform media sosial dan news aggregator, yang dapat menciptakan perpecahan dan mengancam perdamaian.
Dalam acara Bincang-Bincang dengan Pemenang Hadiah Nobel Perdamaian 2021 Maria Ressa, yang diselenggarakan oleh IDN Times, jurnalis dan pimpinan media Rappler asal Filipina itu mengatakan bahwa kebanyakan platform media sosial menggunakan algoritma friends of friends dalam mendistribusikan informasi.
Dengan algoritma seperti itu, informasi yang direkomendasikan terhadap seseorang mengacu pada apa yang biasanya diakses oleh orang itu sendiri.
“Yang mereka lakukan ini adalah distribusi dengan algoritma dan bias algoritma,” ujar Ressa dalam acara yang dipantau dari Jakarta, Kamis.
Menurut dia, algoritma semacam itu menempatkan seseorang di dalam gelembung. Di sana lingkaran itu, informasi yang diterima telah melalui filter tertentu sehingga dapat menciptakan bias dan pandangan yang terdistorsi akan dunia.
“Algoritma menumbuhkan perpecahan yang melebar, kemudian Anda berada di dalam apa yang disebut sebagai filter bubble,” katanya.
Dia pun menambahkan bahwa algoritma seperti itu dapat semakin menyulut kemarahan orang-orang yang mendapatkan informasi yang bias, dan hal itu dapat membuat orang menjadi tidak rasional dan tidak logis.
“Ini adalah permasalahan besar yang kita hadapi karena inilah akhir dari fakta untuk kita semua […] ini merubah pandangan kita terhadap dunia,” kata Ressa. Ia menambahkan bahwa algoritma semacam itu merupakan “manipulasi yang berbahaya”.
Hal itu pun menjadikan para jurnalis dan media sebagai penyaji fakta kehilangan peran sebagai penjaga atau gatekeeper, terutama mengingat banyaknya masyarakat kini yang mengakses platform-platform media sosial dan menjadikannya tempat mereka mendapatkan informasi.
Maria Ressa diberi penghargaan Hadiah Nobel Perdamaian, bersama dengan jurnalis asal Rusia, Dmitry Muratov, “atas perjuangan berani mereka untuk kebebasan berekspresi di Filipina dan Rusia”.
Maria Ressa mengepalai perusahaan media digital Rappler yang ia dirikan bersama tiga orang mitra pada 2012.
Media tersebut tumbuh menonjol melalui pelaporan investigasi, termasuk terkait pembunuhan besar-besaran dalam kampanye polisi melawan narkoba, seperti dikutip dari laporan Reuters.
Pada Agustus, pengadilan Filipina menolak kasus pencemaran nama baik terhadap Ressa, yang merupakan salah satu dari beberapa tuntutan hukum yang diajukan terhadap jurnalis yang mengatakan dia menjadi sasaran karena laporan kritis Rappler tentang Presiden Rodrigo Duterte.
Nasib Ressa, salah satu dari beberapa jurnalis yang dinobatkan sebagai "Person of the Year" Majalah Time tahun 2018 karena memerangi intimidasi media, telah menimbulkan kekhawatiran internasional tentang pelecehan media di Filipina, negara yang pernah dipandang sebagai pembawa standar kebebasan pers di Asia.