Mereka yang mengenang sosok pejuang lingkungan hidup Emmy Hafild

id Emmy Hafild,pejuang lingkungan

Mereka yang mengenang sosok pejuang lingkungan hidup Emmy Hafild

Emmy Hafild. (ANTARA/Evalisa Siregar)

Jakarta (ANTARA) - Kabut duka kembali menyeruak di Indonesia khususnya bagi sektor lingkungan hidup Indonesia dengan berpulangnya salah satu pejuang terbaiknya Emmy Hafild pada 3 Juli 2021 di Jakarta.

Nurul Almy Hafild atau yang akrab disapa Emmy Hafild lahir di Pertumbukan, Sumatera Utara pada April 1958 dan meninggal dunia karena sakit kanker paru dan telah dimakamkan pada 4 Juli 2021 di TPU Tanah Kusir. Dia meninggalkan suami dan dua orang putri.

Meski kini menjadi tokoh politik, dengan jabatan terakhir sebagai Ketua DPP Partai NasDem bidang kemaritiman, sosok Emmy lebih akrab sebagai aktivis lingkungan yang malang melintang di berbagai organisasi lingkungan hidup.

Dia pernah menjabat sebagai direktur eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) periode 1996-2002 dan sempat berkiprah di Greenpeace Asia Tenggara. Atas keberanian dan perjuangannya, dia pernah mendapatkan penghargaan dari majalah Time sebagai Hero of the Planet pada 1999.

"Keluarga besar WALHI sangat berduka, kami telah kehilangan seorang sahabat, kakak, dan mentor bagi banyak aktivis lingkungan hidup. Seorang perempuan yang sepanjang hidupnya terus memperjuangkan apa yang dipercayainya," ujar Direktur Eksekutif WALHI Nasional Nur Hidayati.

Menurut Nur Hidayati, jejak yang ditinggalkan Emmy sangatlah banyak dengan sejak 1990 sudah aktif melakukan advokasi lingkungan bersama WALHI. Dia adalah seorang perempuan yang sepanjang hidupnya terus memperjuangkan apa yang dipercayainya.

Ada begitu banyak kasus besar lingkungan hidup yang diadvokasi WALHI di bawah kepemimpinannya. Emmy memiliki keberanian dan ketegasan yang tidak pernah ragu mengkritik kebijakan yang dinilai menghancurkan lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat.

Namun, sosok Emmy sebagai pejuang lingkungan hanyalah satu dari berbagai sisi yang dimiliknya. Nur Hidayati juga mengenangnya sebagai pemimpin yang memiliki gaya komunikasi yang khas.

"Mbak Emmy kami kenang sebagai sosok yang selalu peduli dengan kondisi keluarga sahabatnya," tuturnya.

Tidak hanya isu lingkungan, Emmy juga turut bergerak untuk melakukan advokasi terhadap isu perempuan dan memberikan sumbangsih besar bagi gerakan perempuan di Indonesia. Dia juga aktif di gerakan demokrasi dan anti korupsi di Tanah Air.

Hal itu disampaikan oleh Risma Umar sebagai Dewan Nasional WALHI, yang menegaskan bahwa kemampuan Emmy Hafild dalam mengkonsolidasikan gerakan masyarakat sipil dari berbagai sektor dan isu telah teruji. Khususnya pada peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Tanah Air seperti pada masa reformasi dan juga memimpin perhelatan Indonesian Peoples Forum, Bali PrepCom pada 2002.

"Mbak Emmy meyakini bahwa tidak bisa memisahkan antara perjuangan lingkungan hidup dengan perjuangan hak-hak perempuan," ujar Risma.

Hal itu karena Emmy menyakini bahwa tidak bisa memisahkan antara perjuangan lingkungan hidup dengan perjuangan hak perempuan.

Pengkader sejati

Sosok Emmy, yang merupakan alumni IPB dan Universitas Wisconsin di Amerika Serikat, juga meninggalkan kesan mendalam kepada Kepala Divisi Lingkungan Hidup di Lembaga Lingkungan Hidup dan Penanggulangan Bencana (LLHPB) PPP Aisyiyah, Hening Parlan.

Hening mengenal Emmy ketika bekerja sebagai salah satu staf WALHI yang mengurusi media dan komunikasi. Selama enam tahun di WALHI di bawah kepengurusan Emmy, Hening mengenalnya sebagai sosok pengkader sejati.

Menyebut Emmy sebagai orang yang sangat unik, cerdas dan pemberani, Hening mengaku mendapatkan banyak pelajaran apalagi saat itu WALHI banyak memberikan masukan kepada pemerintah terkait beberapa isu seperti Freeport, Inti Indorayon, Kali Banger, kebakarna hutan, isu demokrasi, gender dan HAM pada umumnya.

"Saya belajar dari setiap apa yang beliau sampaikan, saya berusaha menyimak. Pada akhirnya saya belajar banyak dari Mbak Emmy tentang keberpihakan, politik dan strategi," kata Hening.

Tidak hanya itu, bertahun-tahun "mengintil" Emmy di banyak jaringan lembaga swadaya masyarakat dan pertemuan membuat Hening memiliki banyak jaringan serta ikut memahami pola-pola pergerakan.

Ada satu pengalaman berkesan yang Hening ingat tentang sosok Emmy tepatnya usai turunnya Presiden Soeharto setelah terjadi reformasi. Emmy dikritik karena "menyembah" Abdurrahman Wahid atau yang dikenal sebagai Gus Dur.

Pemberitaan bahwa Emmy "menyembah" Gus Dur menyeruak di mana-mana. Dia dikritik karena dianggap takluk pada penguasa.

Saat itu, Hening menerima telepon dari Emmy yang mendorongnya meluruskan kejadian tersebut kepada media bahwa yang dilakukan Emmy adalah jongkok di depan karena menganggap Gus Dur sebagai orangtua sehingga untuk menghargai bukan menyembah.

Meski sempat kesal dengan media yang masih belum menerima penjelasan tersebut, Emmy mengikuti argumen Hening untuk tidak membagikan cermin kepada media dalam silahturahmi yang dilakukan di LIPI dengan tujuan membuat media berkaca dengan pemberitaan yang ditulisnya.

Tidak hanya itu, Hening bercerita bahwa Emmy juga melibatkan dirinya dalam berbagai advokasi penting seperti kampanye komodo untuk menjadi salah satu keajaiban dunia dan saat ada arus pengungsian besar di Aceh.

"Begitulah Mbak Emmy selalu menjebloskan saya ke banyak hal yang saya sendiri sering merasa takjub, bingung dan bahkan sering merasa tak mampu. Namun cara beliau menjebloskan saya ke banyak hal, ku sadari bahwa itu adalah cara unik mengkader diriku," ujar Hening.

Hening menyampaikan rasa bangga dan syukur dapat mengenal Emmy yang adalah guru yang baik. Darinya, Hening banyak belajar cara berkampanye dan membawa isu ke publik, kemampuan advokasi terasah, memahami isu lingkungan dan politik, dan belajar bagaimana berpihak pada rakyat kecil serta banyak lagi.

Pejuang lingkungan itu kini sudah berpulang ke pangkuan Yang Maha Kuasa dalam damai.