Dampak minim putusan MK atas KPK

id KPK,MK,judicial review,uu kpk

Dampak minim putusan MK atas KPK

Logo KPK. (Antara/Benardy Ferdiansyah) (.)

Jakarta (ANTARA) - Secara marathon pada 4 Mei 2021 Mahkamah Konstitusi membacakan 7 putusan permohonan "judicial review" terkait Undang-Undang No. 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Namun dari ketujuh permohonan tersebut, ada dua permohonan yang berpengaruh terhadap KPK.

Permohonan pertama adalah putusan perkara Nomor 70/PUU-XVII/2019 yang diajukan Fathul Wahid, Abdul Jamil, Eko Riyadi, Ari Wibowo, Mahrus Ali.

Para pemohon meminta pengujian materiil atas Pasal 1 angka 3, Pasal 3, Pasal 12B, Pasal 24, Pasal 37B ayat (1) huruf b, Pasal 40 ayat (1), Pasal 45A ayat (3) huruf a, dan Pasal 47 UU No 19 tahun 2019.

Sembilan Hakim MK yaitu Anwar Usman, Aswanto, Arief Hidayat, Saldi Isra, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P Foekh, Manahan MP Sitompul dan Suhartoyo lalu dengan bulat memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan para pemohon yaitu:

1. Mengubah Pasal 1 angka 3 UU No 19/2019 dari awalnya berbunyi: "Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang melaksanakan tugas pencegahan dan pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Undang-Undang ini"

menjadi:

"Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang selanjutnya disebut Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun".

Sehingga ada penghapusan "tugas pencegahan" dan penambahan "bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun"

2. Mengubah Pasal 12B, Pasal 37B ayat (1) huruf b, dan Pasal 47 ayat (2) UU 19/2019 yang memuat soal kewenangan Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk memberikan izin penyadapan, penggeledahan dan penyitaan yaitu:

Pasal 12B
(1) Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan izin tertulis dari Dewan Pengawas.
(2) Untuk mendapatkan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan permintaan secara tertulis dari Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.
(3) Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis terhadap permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling lama 1 x 24 jam terhitung sejak permintaan diajukan.

Pasal 37B ayat (1) huruf b
Dewan Pengawas bertugas: memberikan izin atau tidak memberikan izin Penyadapan, penggeledahan, dan/atau penyitaan;

Pasal 47 ayat (2)
Dewan Pengawas dapat memberikan izin tertulis atau tidak memberikan izin tertulis terhadap permintaan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 1 x 24 jam sejak permintaan izin diajukan



3. Mengubah Pasal 12C ayat (2) dari tadinya:

"Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan KPK dan Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan"

menjadi

"Penyadapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) yang telah selesai dilaksanakan harus dipertanggungjawabkan kepada Pimpinan KPK dan diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak Penyadapan selesai dilaksanakan”.

Artinya pertanggungjawaban penyadapan hanya kepada pimpinan KPK sedangkan Dewas hanya diberikan pemberitahuan.

4. Mengubah Pasal 40 ayat (1) UU No 19/2019 dari tadinya

"Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun"

menjadi
"Komisi Pemberantasan Korupsi dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap perkara Tindak Pidana Korupsi yang penyidikan dan penuntutannya tidak selesai dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak diterbitkannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP)."

KPK tetap punya kewenangan untuk menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3), bahkan penerbitan SP3 terhitung sejak diterbitkan SPDP karena aturan sebelumnya tidak mencamtumkan dari mana jangka waktu 2 tahun dihitung.

6. Mengubah Pasal 40 ayat (2) UU No 19/2019 dari tadinya

"Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilaporkan kepada Dewan Pengawas paling lambat 1 minggu terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan",

Menjadi:
"Penghentian penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberitahukan kepada Dewan Pengawas paling lambat 14 hari kerja terhitung sejak dikeluarkannya surat perintah penghentian penyidikan dan penuntutan."

Artinya pemberitahuan kepada Dewas KPK soal penerbitan SP3 diperlonggar dari tadinya paling lambat 7 hari menjadi 14 hari.

7. Mengubah Pasal 47 ayat (1) UU No 19/2019 dari tadinya:
"Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan atas izin tertulis dari Dewan Pengawas".

Menjadi:
"Dalam proses penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan dan penyitaan dengan memberitahukan kepada Dewan Pengawas".

Artinya dalam penggeledahan dan penyitaan tidak diperlukan izin tertulis dari Dewas artinya penggeledahan dan penyidikan tidak butuh izin Dewas dan cukup memberitahukan kepada Dewas.

Namun terkait permohonan pasal 24 yaitu mengenai status kepegawaian KPK sebagai anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara (ASN) Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, MK menolaknya.

Dalam pertimbangannya MK hanya mengatakan "Dengan adanya pengalihan status pegawai KPK menjadi ASN sebagaimana telah ditentukan mekanismenya sesuai dengan maksud adanya Ketentuan Peralihan UU 19/2019 maka dalam pengalihan tersebut tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN dengan alasan apapun di luar desain yang telah ditentukan tersebut. Sebab, para pegawai KPK selama ini telah mengabdi di KPK dan dedikasinya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi tidak diragukan."

Terhadap putusan pengujian materiil tersebut, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Zainal Arifin Mochtar mengatakan putusan tersebut nyaris tidak memberikan dampak pada pemberantasan korupsi dan KPK.

"Sebenarnya yang dipersoalkan adalah independensi di bawah rumpun eksekutif tapi yang dipertimbangkan MK bukan itu. Bahkan sebelumnya dua hakim yaitu Saldi Isra dan Suhartoyo dalam putusan MK No 36/2017 mengenai hak angket terhadap KPK menyatakan KPK adalah lembaga independen dan bukan cabang ekskutif sehingga tidak masuk ke ranah angket DPR tapi dalam perkara ini mereka mengubah pandangan menjadi KPK di bawah eksekutif, jadi mana keyakinan hakim yang sebenarnya? Yang sekarang atau yang dulu?" ungkap Zainal.

Bahkan menurut Zainal, putusan MK bahkan menyederhanakan KPK untuk menerbitkan SP3.

"Bahkan lebih ketat mekanisme menerbitkan SP3 di KUHAP dibanding penerbitan SP3 di UU KPK, jadi ini sangat melemahkan pemberantasan korupsi," tambah Zainal.

Selanjutnya terkait tidak dikabulkannya anulir status pegawai KPK yang ditetapkan sebagai ASN, Zainal menyebut MK hanya memberikan perlindungan basa-basi.

"Mengenai status pegawai, itu hanya perlindungan tapi basa-basi karena yang hanya mengatakan agar tidak boleh merugikan pegawai KPK tapi tidak diberikan garis batas yang jelas," ungkap Zainal.

Uji formil

Namun dalam perkara Nomor 79/PUU-XVII/2019 mengenai permohonan uji formil UU No 19/2019 yaitu menguji prosedur pembentukan Perubahan Kedua UU KPK, tidak dikabulkan MK.

Pengujian formil adalah pengujian UU yang berkenaan dengan proses pembentukan UU dan hal-hal lain yang tidak termasuk pengujian materiil. Suatu undang-undang diuji secara formil karena dinilai cacat formil dan dapat berimplikasi kepada pembatalan sebuah undang-undang secara keseluruhan.

Uji formil tersebut diajukan oleh para mantan pimpinan KPK serta aktivis antikorupsi yaitu Agus Rahardjo, Laode M Syarif, Saut Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Omi Komaria Madjid, Betti S Alisjahbana, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suarhatini Hadad, Abdul Ficar Hadjar, Abdillah Toha, Ismid Hadad dan Natalia PP Soebagjo.

Dalam gugatan tersebut, Agus Rahardjo dkk antara lain menyebutkan pembahasan revisi UU KPK berlangsung kilat dan terburu-buru serta tidak terpenuhinya kuorum saat rapat paripurna DPR saat pengesahan revisi UU KPK.

"Menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata hakim konstitusi Anwar Usman.

Namun satu hakim konstitusi mengajukan pendapat berbeda (dissenting opinion) oleh Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.

Wahiddudin yang merupakan mantan Direktur Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan HAM tersebut menilai revisi UU 19/2019 absurd dengan alasan:

1. Dengan diperolehnya fakta dari keterangan pembentuk UU bahwa Raker pertama dilaksanakan pada 12 September 2019 dan Rapat Panitia Kerja (Panja) pertama dilaksanakan pada 13 September 2019, sulit bagi Wahiduddin untuk tidak menyimpulkan bahwa Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU tersebut disiapkan oleh Presiden dalam jangka waktu kurang dari 24 jam. Maka akselerasi penyusunan DIM oleh Presiden (beserta supporting system yang ada di dalamnya) secara luar biasa ini jelas menyebabkan minimnya partisipasi masyarakat serta sangat minimnya kajian dan analisis dampak terhadap pihak yang akan melaksanakan ketentuan UU KPK. Hal tersebut tentunya menyebabkan sangat rendahnya, bahkan mengarah pada nihilnya jaminan konstitusionalitas pembentukan UU.

2. Tidak lazimnya letak narasi pengesahan dan pengundangan yaitu narasi pengundangan disebutkan lebih dahulu sebelum narasi pengesahan, padahal secara suatu UU seharusnya disahkan terlebih dahulu baru kemudian diundangkan.

Terhadap fakta tersebut Wahiduddin mengatakan sudah beberapa kali meminta penjelasan resmi dari kuasa Presiden, namun hingga akhir persidangan sama sekali tidak diberikan penjelasan

3. Tidak adanya jawaban yang pasti dan meyakinkan mengenai alasan Presiden Joko Widodo tidak menandatangani UU No 19/2019 sehingga pengesahan UU No 19/2019 didasarkan pada ketentuan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945.

Namun dalam perkembangannya, Presiden Jokowi dalam jangka waktu yang relatif cepat menetapkan berbagai peraturan pelaksanaan. Hal ini sangat jauh berbeda dengan praktik dan konteks beberapa UU sebelumnya yang pengesahannya juga tidak ditandatangani Presiden dan butuh waktu lama dalam penepatan peraturan pelaksana.

Hal tersebut menyebabkan terjadinya absurditas praktik ketatanegaraan dan semakin terpeliharanya praktik pembentukan UU yang tidak didasarkan pada budaya yang membiasakan adanya justifikasi (culture of justification)

4. Nyaris seluruh keterangan komisioner KPK selaku pihak terkait afirmatif terhadap substansi UU No 19/2019 yang sangat jauh berbeda dengan visi, misi, cita-cita, dan program yang mereka sampaikan dalam uji kepatuhan dan kelayakan (fit and proper test).

"Saya meyakini sepenuhnya bahwa fungsi KPK tetap dapat berjalan bahkan lebih baik berdasarkan UU No. 30 Tahun 2002 dibandingkan dengan UU No. 19 Tahun 2019," kata Wahiduddin.

Dalam kesimpulannya, Wahiduddin mengatakan bahwa yang terpenting adalah agar para pencari keadilan dan masyarakat pada umumnya percaya bahwa mekanisme pengujian formil terhadap UU di MK nyata adanya dan bukan "sekadar indah dalam cerita".

"Bukan seperti ungkapan 'wujuduhu ka’adamihi (adanya sama seperti tidak adanya)', sebagai instrumen penyeimbang terhadap agresivitas supremasi kekuatan politik mayoritas di parlemen dalam konteks pembentukan undangundang," ungkap Wahiduddin.

Terhadap penolakan gugatan formil tersebut, Zainal Arifin Mochtar mengatakan alasan-alasan hakim konstitusi seperti anak SMA dan tidak mampu membaca masalah hukum secara negarawan.

"Saya awalnya membayangkan MK isinya adalah orang-orang dengan kapasitas kenegarawanan, namun ternyata jawaban MK main-main misalnya soal pelibatan masyarakat dalam pembahasannya dengan mengatakan bahwa DPR sudah berkeliling ke beberapa universitas, namun saya tidak tahu kenapa MK bisa senaif itu menerima alasan pembuat UU," kata Zainal.

Sikap KPK

Terkait dikabulkannya sebagian permohonan dalam putusan MK tersebut KPK menyambut baik putusan terkait penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan oleh KPK.

Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan KPK akan melaksanakan putusan tersebut dengan menyesuaikan kembali beberapa mekanisme proses kegiatan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan tersebut.

"Kami memastikan segala proses tindakan pro justitia dalam rangka penegakan hukum penyelesaian penanganan perkara tersebut dilakukan sesuai prosedur hukum yang berlaku," kata Ali.

KPK pun mengucapkan terima kasih dan mengapresiasi setinggi-tingginya kepada pihak-pihak yang telah menjadi pemohon dalam proses "judicial review" atau uji materi terkait Undang-Undang KPK hasil revisi.

"Kami yakin semua pihak yang terlibat menjadi pemohon bertujuan untuk terus memperkuat dan mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia," ujar Ali.

Dewas KPK pun mengharapkan kinerja penindakan KPK lebih baik lagi pasca putusan MK tersebut.

"Tentang apakah KPK akan menjadi lebih kuat dengan dicabutnya tugas dewas memberikan izin tersebut. Tentunya kami lihat dalam pelaksanaannya ke depan, harapannya tentu akan lebih baik," kata Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean.

Namun Zainal Ariin menyebut ada orkestrasi untuk pembunuhan KPK secara terencana dan putusan MK menjadi bagian dari rencana tersebut yaitu mulai dari revisi UU KPK, pemilihan komisioner KPK bermasalah hingga alih fungsi pegawai KPK melalui mekanisme tes wawasan kebangsaan.

"Saya bayangkan satu alunan yang sama, dan kita tahu siapa pelakunya, 2 di antaranya adalah Presiden dan DPR, putusan MK kemarin semacam satu kejahatan yang menyebabkan dua kematian, suatu 'perfect crime' dengan korban ganda yaitu mengancam kehidupan KPK yang sudah di ujung tanduk dan kematian moralitas di MK," kata Zainal Arifin.

Sehingga alunan musik seperti apa yang nantinya muncul dari kinerja KPK hasil uji materi UU No 19 tahun 2019? Masyarakat berharap masih ada musik pemberantasan korupsi yang nyaring dari KPK.