Jakarta (ANTARA) - Agregator layanan akomodasi dan wisata, Airy dikabarkan akan menghentikan operasinya secara permanen pada akhir bulan ini.
Airy menjelaskan bahwa pandemi COVID-19 telah mengancam hampir semua sektor bisnis, terutama sektor pariwisata.
Dalam email kepada mitra propertinya, dikutip dari Tech in Asia, Jumat, Airy mengatakan akan mengakhiri perjanjian dengan mitranya, mengikuti keputusan perusahaan untuk menghentikan kegiatan operasionalnya secara permanen.
"Kami telah melakukan upaya terbaik kami untuk mengatasi dampak dari bencana (internasional) ini. Namun, mengingat penurunan teknis yang signifikan dan pengurangan sumber daya manusia yang kami miliki saat ini, kami telah memutuskan untuk menghentikan (kegiatan) bisnis kami secara permanen," kata perusahaan itu dalam email.
"Karena alasan ini, setelah 31 Mei 2020, kami tidak dapat menyediakan layanan (lagi) untuk semua mitra kami,” tambah Airy.
Antara telah menghubungi Airy untuk mengkonfirmasi kabar tersebut, namun juru bicara perusahaan tidak dapat memberikan informasi lebih lanjut tentang hal ini.
Sementara itu, dalam wawancara dengan Tech in Asia pada bulan Maret, CEO Airy Louis Alfonso Kodoatie mengatakan bahwa perusahaan melakukan perubahan strategi untuk mengurangi dampak pandemi yang telah mempengaruhi tingkat hunian Airy.
"Kami optimis pandemi akan segera teratasi dan industri perjalanan dapat pulih. Dengan teknologi dan kualitas layanan yang tepat, kami yakin bahwa Airy dapat bangkit kembali lebih cepat dan memulihkan bisnis kami seperti sebelumnya," kata Kodoatie saat itu.
Namun, bulan lalu, dilaporkan bahwa startup tersebut memberhentikan sekitar 70 persen dari stafnya.
Didirikan pada 2015, Airy memiliki jaringan 2.000 properti dengan lebih dari 30.000 kamar. Startup ini juga merupakan mitra strategis unicorn layanan penyedia akomodasi Traveloka.
Baca juga: Luhut BP: Dampak COVID-19, PHK tak hanya di Indonesia, tapi juga terjadi di dunia
Industri perjalanan dan perhotelan telah berjuang untuk bertahan sejak pandemi COVID-19 mendorong pemerintah untuk mengeluarkan larangan berpergian di seluruh dunia guna memutus rantai penyebaran virus corona.
OYO yang didukung SoftBank dilaporkan mengalami penurunan 50 hingga 60 persen dalam pendapatan, memaksa perusahaan untuk menerapkan pemotongan gaji dan cuti karyawannya.
Startup hotel budget yang berbasis di Singapura, RedDoorz juga menawarkan cuti sementara kepada para stafnya dan memberhentikan kurang dari 10 persen dari total tenaga kerjanya.
Baca juga: Kuartal I, pariwisata kehilangan potensi pendapatan hingga Rp60 triliun