Jakarta (ANTARA) - Dalam konteks demokrasi dan hak asasi, politik dinasti, yang terjadi di beberapa daerah menimbulkan pro dan kontra, ada yang setuju dan ada yang tidak setuju.
Ibarat pisau bermata dua. Contoh paling hangat dan menjadi perbincangan publik dewasa ini, langkah Gibran Rakabuming Raka dan Boby Nasution keduanya putra sulung dan menantu Presiden Jokowi, ingin merebut Wali Kota Surakarta dan Wali Kota Medan.
Terutama Gibran, sangat menarik perhatian publik lantaran langkahnya cukup kontroversial. DPC PDIP Surakarta sesuai mekanisme dan kewenangan partai sudah memutuskan mengajukan pasangan Achmad Purnomo, petahana Wakil Wali Kota, dan Teguh Prakosa anggota DPRD Surakarta, dua-duanya kader PDIP sebagai bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota.
Memang keputusan DPC PDIP Surakarta belum final, karena keputusan akhir ada pada DPP PDIP. Peluang Gibran masih terbuka, maka melakukan manuver politik, di sini sudah nampak aroma politik dinasti. Bahkan Gibran sudah menghadap Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, serta sudah mendaftar sebagai bakal calon Wali Kota Surakarta, lewat DPD PDIP Jawa Tengah.
Baca juga: Budiman Sudjatmiko nilai beban moral anak-mantu Jokowi maju pilkada
Langkah Gibran tidak keliru karena mekanisme penjaringan di PDIP memungkinkan. Bisa mendaftar lewat DPC, DPD maupun DPP PDIP. Bisa kita bayangkan seandainya Gibran bukan putra presiden.
Apakah langkah kedua anak muda tersebut salah, keliru, tidak etis, menggebiri demokrasi atau merugikan publik ? Sebetulnya penjelasan Jokowi sudah jelas. Artinya, jabatan wali kota adalah bukan penunjukkan, melainkan kompetisi. "Ketika kompetisi, bisa menang dan bisa kalah, karena ini dipilih bukan ditunjuk".
Pisau bermata dua
Kenapa diartikan pisau bermata dua ? Artinya, di satu sisi, praktik politik dinasti merampas hak orang lain karena berpotensi menggunakan cara-cara yang tidak benar yang melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Pada sisi lain, pelarangan terhadap seseorang yang mempunyai hak untuk dipilih akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan merupakan bagian dari dinasti politik tertentu, juga melanggar hak politik seseorang sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.
Maka, dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud bertentangan dengan konstitusi sehingga politik dinasti dihalalkan melalu putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan diri bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebetulnya politik dinasti sudah dikenal dan menggejala jauh sebelum Indonesia merdeka.
Kita lihat ditingkat desa, pada suksesi kepemimpinan pemilihan kepala desa sangat lumrah diwarnai dengan politik dinasti. Walau tetap dengan pemilihan langsung, calon yang ikut kompetisi berasal dari dinastinya, seperti istri, anak atau kerabatnya.
Mengebiri demokrasi?
Pada konteks pro dan kontra politik dinasti, pemaknaan demokrasi menimbulkan dua pemahaman yang saling bertentangan, yaitu politik dinasti dinilai tidak bertentangan dengan demokrasi, tetapi di sisi lain hal itu kerap melanggar prinsip demokrasi dan hak asasi.
Pertanyaannya, apakah politik dinasti mengebiri demokrasi ? Menggerus demokrasi ? Seperti ungkapan di atas, politik dinasti sudah menggejala sejak lama. Hal ini akan semakin jelas pada era kerajaan yang memang kekuasaan diturunkan turun temurun sebagaimana tradisi lama kerajaan di Indonesia.
Baca juga: KPK: Pikirkan Untuk Pilih Pemimpin Dari Dinasti Politik
Fenomena pemilihan kepala desa secara langsung, politik dinasti juga menjadi hal yang lumrah. Walau dipilih secara langsung, peranan ke-dinasti-an tetap berjalan, walaupun dengan proses demokrasi. Bahkan memasuki era reformasi yang merubah memperoleh kekuasaan dengan demokrasi, pemilihan langsung, praktik politik dinasti benar-benar menggejala.
Menjawab pertanyaan apakah politik dinasti mengebiri demokrasi ? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Ya mengebiri demokrasi karena praktik-praktik politik dinasti cenderung memengaruhi proses yang mestinya demokratis, menjadi tidak demokratis karena campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, kekuatan, pengaruh dan infrastruktur politik. Bungkusnya demokrasi tetapi isinya, tidak demokratis.
Dulu, jaman kerajaan menentukan pemimpin berdasarkan pewarisan ditunjuk langsung, sekarang mencari kepala daerah lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite kekuasaan lewat institusi yang disiapkan, yaitu partai politik. Patrimonialistik dibungkus dengan jalur prosedural.
Politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang berproses di Indonesia dan akan melemahkan demokrasi. Kenapa ? Karena politik dinasti, cenderung mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Gibran sempat dimasalahkan karena ada persyaratan minimal sudah tiga tahun menjadi kader partai.
Publik paham betul bahwa Gibran memiliki kartu tanda anggota PDIP ketika dalam proses mencari rekomendasi. Diakui atau tidak, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Apalagi ada signal dari petinggi partai PDIP bahwa DPP, khususnya Ketua Umum memiliki hak prerogratif yang wewenangnya mutlak.
Baik Gibran maupun Boby secara jujur publik juga paham bahwa jam terbang di dunia politik masih sangat rendah. Namun begitu regulasi tidak ada pasal yang melarang mereka menggunakan hak sebagai warga negara untuk ikut kontestasi di pilkada. Sebetulnya mereka berdua juga memiliki beban moral yang berat justru karena aroma politik dinasti sangat kental.
Siapa yang tidak tahu kalau mereka adalah anak dan menantu presiden. Maka ada ungkapan, menang tidak membanggakan, biasa-biasa saja, wajar, lumrah. Tapi kalau kalah menggangu reputasi orang tuanya. Sinyalemen inilah yang menjadi spekulasi publik bahwa ada campur tangan kekuasaan. Baik langsung maupun tidak langsung.
Salahkah politik dinasti?
Demokrasi adalah sistem pemerintahan di mana semua warga negara memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah kehidupan warganya. Demokrasi memungkinkan warga negara berpartisipasi, bisa langsung atau lewat perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Kesetaraan dalam demokrasi mencakup kondisi politik, ekonomi sosial, dan budaya.
Namun pada sisi yang lain, politik dinasti bukanlah sistem yang tepat unrtuk diterapkan di negara yang demokratis. Politik dinasti lebih tepat di negara dengan sistem pemerintahan monarki yang memilih pemimpin berdasarkan garis keturunan.
Politik dinasti dianggap salah, karena berpotensi kuat menyuburkan budaya koruptif. Betapa tidak, politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Politik dinasti lebih indentik dengan kekerabatan, termasuk kekerabatan secara politik.
Dengan demikian secara politik, ada kecenderungan mempertahankan kekuasaan dengan cara menyuburkan politik dinasti. Jangan sampai kekuasaan direbut oleh lawan politiknya, atau kelompok yang berseberangan.
Kesalahan lain tentang politik dinasti, karena jika makin maraknya praktik ini di berbagai pilkada dan pemilu legislatif, maka proses rekrutmen dan kaderisasi di partai politik tidak berjalan sebagaimana mestinya, bahkan macet.
Seseorang bisa diistimewakan karena dinasti politik, sementara kader yang jauh dari kekerabatan kesempatannya menjadi hilang.
Dengan politik dinasti membuka peluang orang yang tidak kompeten memiliki kekuasaan. Sebaliknya, ada orang yang lebih kompeten, lebih memiliki kapasitas bisa tergusur tidak dipakai karena alasan bukan keluarga atau kerabatnya.
Sebagai penutup, paling tidak ada tiga aspek untuk melihat secara bijak dikaitkan dengan politik dinasti. Pertama secara yuridis formal tidak ada regulasi yang melarang seseorang untuk menggunakan hak politiknya dikaitkan dengan keluarga atau dinasti. Berarti politik dinasti tidak melanggar aturan. Kedua secara filosofi, harapannya kehidupan demokrasi ke depan mestinya akan lebih baik.
Pertanyaannya, apakah politik dinasti akan menjadi lebih baik atau justru menghambat perkembangan demokrasi. Ketiga, secara sosiologis, apakah masyarakat, publik secara umum menerima dan tidak mempermasalahkan adanya politik dinasti.
Ini berarti akan dijawab oleh pemilih, apakah pilihannya akan jatuh pada calon yang dikategorikan berdasarkan politik dinasti ? Kalau Gibran dan Boby menang dalam pilkada, berarti mayoritas pemilih menghendaki. Kalau kalah berarti mayoritas pemilih tidak menghendaki.
*) Drs. Pudjo Rahayu Rizan, MSi. Magister Kebijakan Publik, MAP Undip, dosen tidak tetap STIE BPD dan STIE Semarang.
Pro dan kontra politik dinasti dalam demokrasi dan HAM di Indonesia
Ibarat pisau bermata dua. Contoh paling hangat dan menjadi perbincangan publik dewasa ini, langkah Gibran Rakabuming Raka dan Boby Nasution keduanya putra sulung dan menantu Presiden Jokowi, ingin merebut Wali Kota Surakarta dan Wali Kota Medan.