Bandarlampung (ANTARA) - Ikatan petambak Pesisir Barat Sumatra mempertanyakan alasan Pemerintah Kabupaten Pesisir Barat, Provinsi Lampung yang menutup tujuh tambak udang dan tidak memperbolehkan untuk memperpanjang izinnya.
"Penutupan ketujuh tambak ini berkaitan dengan izin kami yang tidak boleh diperpanjang lagi dengan alasan yang tidak masuk akal," kata Ketua IPPBS Agusri Syarif, di Bandarlampung, Minggu.
Ia menjelaskan bahwa tidak dikeluarkan izin tujuh tambak udang di sana karena adanya indikasi pencemaran lingkungan yakni membuang berton-ton udang ke laut.
Menurutnya, kegiatan tersebut tidaklah mungkin dilakukan para pengusaha tambak undang karena bila itu terjadi sama saja mereka membuang-buang uang yang besarnya mencapai ratusan juta rupiah.
"Ini menurut saya mengada-ada, bayangkan satu ton udang itu nilainya Rp109 juta lalu kami membuangnya begitu saja. Bila memang ada pencemaran lingkungan yang dituduhkan ya tolong dibuktikan kami akan kooperatif bila itu ditemukan," jelasnya.
Agusri merasa heran sebab pada tahun 2016 diberikan izin, namun tahun 2017 keluar peraturan daerah (perda) RT/RW dan pada Agustus 2019 mereka mendapatkan surat pemberitahuan bahwa tujuh tambak tidak akan diperpanjang izinnya.
Namun, dalam perda RT/RW tersebut kawasan tujuh tambak ini tidak masuk dalam RT/RW dan yang paling aneh di dalam surat pemberitahuan tersebut berbunyi di bawahnya bila terdapat kekeliruan penutupan ini akan ditinjau lagi.
"Ini ada yang sedikit aneh dari surat tersebut. Saya sebagai ketua jelas memperjuangkan nasib anggota dan persoalan ini sudah sampaikan ke berbagai pihak," kata dia.
Ia berharap, ketujuh tambak tersebut tidak ditutup dan dapat beroperasi kembali karena nilai investasi yang dikeluarkan sudah cukup besar, kemudian, ekspor Lampung pun dapat terhambat di sektor ini dimana pemerintah juga sedang menggaungkan peningkatan ekspor udang dalam lima tahun ke depan.
"Kami mulai 2014 urus izin segala macamnya selesai 2016. Di 2017 kami baru beroperasi dan sudah mau ditutup di 2019, satu hektare tambak investasinya sebesar Rp15 miliar, belum lagi kami ikut dalam pembangunan seperti mengaspal jalan, mengaliri listrik di desa sekitar dan membantu perekonomian di sana bahkan PAD di sektor ini juga lumayan besar sekitar Rp600 juta jadi tolonglah dipertimbangkan," katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Pesisir Barat Jon Edward, saat dikonfrimasi, membenarkan adanya tujuh tambak udang yang dilarang melakukan aktivitas penambakan.
Ia pun menegaskan bahwa pihaknya tidak pernah melakukan arogansi dengan menutup paksa tambak-tambak tersebut karena nyatanya kami melakukan imbauan dengan memberikan surat peringatan terlebih dahulu kepada mereka sebanyak tiga kali.
"Sesuai RT/RW kami pada November 2019 semua kegiatan tambak di tujuh lokasi itu harus dihentikan, tapi setelah diperingati sebanyak tiga kali, pada tanggal 11 November 2019 mereka masih melakukan kegiatan penambakan, maka semua proses pertambakan pada tanggal 29 November 2019 kami segel," katanya.
Ia pun mengakui para investor tersebut telah memberikan dampak positif ke sebagian warga tapi pihaknya pun hanya menjalankan amanat dari Perda RT/RW No 8 Tahun 2017 dimana yang di dalamnya membatasi aktivitas penambakan hingga tanggal 19 November.
"Namun, pelaksanaan penegakan aturan secara utuh baru bisa diterapkan setelah dua tahun perda tersebut keluar artinya pada November 2019 mereka harus mengikuti peraturan itu. Yang harus ditekankan kami tidak menyegel tempat itu tapi menghentikan prosesnya saja karena kami tau ada hal-hal yang harus dibicarakan kembali terkait keberlangsungan masyarakat di sepanjang pantai," jelasnya.
Menurutnya, bila memang ini adalah permasalahan bersama harusnya para investor ini melihat ke depan dampak yang akan ditimbulkan dari aktivitas mereka dan jangan pemda disudutkan terus seolah-olah hal tersebut dipaksakan.
"kita berbicara 160 ribu penduduk dan mereka pengusaha bicara 30 orang," tegasnya.