Menurut Taufiq Ismail Pengajaran Sastra Kita Telantar

id Pengajaran Sastra Telantar, Taufiq Ismail Prihatin Pengajaran Sastra, Taufiq Ismail

Menurut Taufiq Ismail Pengajaran Sastra Kita Telantar

Penyair dan budayawan Taufiq Ismail. (FOTO: ANTARA)

Taufiq Ismail pun membandingkan keadaan sangat terbalik kondisi saat ini. "Sangat parah, parah sekali karena saat ini siswa SMA Indonesia di mana pun nol buku sastra," katanya lagi.
Bandarlampung (ANTARA Lampung) - Pengajaran sastra, mengarang, dan berbicara dalam studi bahasa dan sastra Indonesia di SMA telantar 66 tahun selama masa kemerdekaan sehingga harus ada paradigma baru dalam pengajaran sastra di sekolah, kata budayawan Taufiq Ismail.

Menurut Taufiq, dalam Seminar Penguatan Karakter Bangsa melalui Gamitan Pembelajaran Bahasa dan Sastra, di Bandarlampung, Kamis (19/5), pada masa penjajahan dulu, siswa AMS Hindia Belanda-A di Yogyakarta (1939-1942) diwajibkan membaca 25 judul buku sastra dan siswa AMS Hindia Belanda-B di Malang (1929-1932) siswa diwajibkan membaca 15 buku sastra.

"Jumlah ini setara dengan jumlah buku sastra yang harus dibaca siswa SMA di negara-negara maju seperti Jerman, Prancis, Belanda, Jepang, Swiss, dan Amerika Serikat. Artinya, justu di zaman penjajahan kita bisa bersaing dengan negara maju itu dalam soal literasi sastra," ujarnya pula.

Taufiq pun membandingkan keadaan sangat terbalik kondisi saat ini. "Sangat parah, parah sekali karena saat ini siswa SMA Indonesia di mana pun nol buku sastra," katanya lagi.

Begitu pula dalam menulis karangan, kata dia lagi, pelajar AMS Hindia Belanda wajib menulis satu karangan per minggu, 18 karangan per semester, 36 karangan per tahun, dan 108 karangan per 3 tahun.

Sekarang, menurutnya, siswa SMA hanya menulis 3-15 karangan per tahun. "Banyak sekali tugas mengarang cuma satu kali setahun seperti Salat Idulfitri. Itu judulnya sama dari Sabang sampai Merauke: Berlibur ke rumah nenek," ujarnya pula.

           Siswa Gembira
Menurut sastrawan Angkatan 66 ini, cara pandang baru pengajaran sastra di sekolah harus membuat siswa memasuki sastra secara asyik, nikmat, dan gembira.

"Siswa membaca langsung karya sastra, seperti puisi, cerita pendek, novel, drama, dan esai. Bukan melalui ringkasannya," katanya lagi.

Karena itu, ujar dia, buku-buku yang disebut dalam kurikulum mesti tersedia di perpustakaan sekolah. Setiap buku wajib harus tersedia sebanyak 50 eksemplar.

Lainnya, lanjutnya, kelas mengarang harus diselenggarakan secara menyenangkan, dan ketika membicarakan karya sastra aneka ragam tafsir harus dihargai, serta pengetahuan tentang sastra baik teori, definisi, sejarah tidak utama.

Paling penting, menurut Taufiq, pengajaran sastra mestilah mendidik karakter pelajar, membangun perilaku siswa, serta menyemai nilai-nilai luhur dan sifat akhlak mulia pada siswa.

Pembicara lain, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Pusat Suwardi Endraswara menyebutkan bahwa pembelajaran sastra kita sedang memasuki ruang "gawat darurat", sebuah ruang yang sering menenggelamkan sastra.

"Kadang sastra menderita penyakit 3S, yaitu stres berat, stroke, dan setop, sehingga amat menyedihkan," ujarnya pula.

Guru besar sastra Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu mengajak pengajar agar tidak menjadikan pembelajaran sastra hanya menukik pada hafalan, mengingat hafalan mekanik akan membunuh sastra di sekolah.

Sastra diciptakan untuk mengajak pembaca lebih bernalar, bersikap jernih, dan berkarakter mulia. Tanpa pencelupan diri ke teks sastra, kata dia, pembelajaran sastra akan masuk ke ruang gawat darurat.

"Seolah-olah pembelajar sastra hanya akan bosan dan juga lelah membaca sastra. Pembelajaran sastra harus bertarget mengubah perilaku ke arah positif. Sastra dapat mengubah karakter ketika dinikmati secara suntuk," katanya lagi.

Sedangkan Dekan FKIP Universitas Lampung Dr Muhammad Fuad menekankan pada peningkatan profesionalisme guru bagi pengembangan bahasa dan sastra.

"Salah satu yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kompetensi pedagogik guru bahasa dan sastra adalah dengan meledakkan potensi berbahasa dan bersastra siswa melalui sinergi guru dan siswa," ujar lagi.

Seminar ini dirangkai dengan pelantikan pengurus Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat Lampung yang diketuai Munaris oleh Ketua HISKI Pusat Suwardi Endraswara.