Bandarlampung, (ANTARA LAMPUNG) - Pemerintah Provinsi Lampung diminta dapat menghargai karya sastra karena di dalamnya banyak mengandung hikmah dan sejarah, kata sastrawan Lampung Isbedy Stiawan ZS, saat menutup pembacaan Syair Lampung Karam karya Muhammad Saleh di panggung terbuka Pasar Seni Enggal Bandarlampung, Selasa (26/8) malam.
Isbedy menyebutkan, bukti karya literasi berumur 131 tahun ini tidak saja mengandung hikmah namun memiliki nilai-nilai sejarah di balik bencana letusan Gunung Krakatau pada 1883 (1300 H) silam yang nyaris menenggelamkan daerah Lampung dan sebagian Banten.
Syair Lampung Karam karya pribumi Muhammad Saleh ini, ujar Isbedy, layaknya diary dari seorang pengarang.
Walaupun semacam catatan harian, ujarnya lagi, karya yang pertama kali ditulis di Singapura dalam bahasa Arab-Melayu tiga bulan setelah bencana Krakatau, tetap mengedepankan estetika bahasa dan diksi yang terjaga.
"Karena itu, saya menilai karya ini lebih kuat sastranya ketimbang catatan hariannya," kata Isbedy lagi.
Menurut dia, Muhammad Saleh sangat jeli memandang, merasakan, mencecap apa yang terjadi saat-saat bencana letusan Krakatau dengan tsunaminya. "Pengarang juga memotret secara detail perilaku manusia kala itu," ujarnya pula.
Syair Lampung Karam mencuat setelah ditemukan oleh dosen asal Indonesia Suryadi Sunuri di perpustakaan Universitas Leiden Belanda sekira tahun 2005.
"Bayangkan, buku ini tersimpan di Belanda lebih satu abad lamanya. Untunglah pengajar di universitas itu yang kebetulan dari Indonesia menemukannya. Karena itu, kita perlu bersyukur buku ini yang merupakan kekayaan dari dunia sastra di Lampung khususnya dan Indonesia umumnya dapat dikembalikan ke tanah air," kata Isbedy lagi.
Karena itu, dia minta Pemprov Lampung semestinya dapat menghargai karya sastra ini, mengingat banyak pelajaran bisa dipetik dari karya Muhammad Saleh yang berisi lebih dari seratusan bait (kuplet).
Dalam Syair Lampung Karam ini, masih kata Isbedy, disebut beberapa nama tempat yang jika ditilik melalui kacamata pariwisata sangat berharga. Beberapa tempat yang disebut pengarang dalam karyanya itu, saat ini nyaris terlupakan baik dari segi pembangunan atau lainnya.
Isbedy menyebutkan, seperti Limau, Kuala, Lempasing, Talang, sekitaran Gunung Rajabasa, Sebesi, Kitambang, ataupun Gunung Sari. "Nama-nama daerah atau kampung itu ada disebut pengarang dalam syairnya," ujarnya.
Perhatian pemda untuk menghargai karya sastra yang amat bernilai ini, lanjut dia, antara lain dengan memasukkan karya sastra ini ke dalam pengajaran muatan lokal atau menjadi semacam buku panduan sektor pariwisata, sosial dan budaya.
"Syair Lampung Karam ini, menurut saya, bisa dikaji dari sisi sosial dan budaya, seperti soal perilaku atau sikap sosial 'manusia Lampung' di kala Krakatau meletus," kata dia lagi.
Sikap sosial itu, lanjut dia, digambarkan bagaimana pengungsi akibat bencana Krakatau yang harus naik rumah turun rumah karena pemilik rumah merasa keberatan ditumpangi, atau pengungsi yang dipinjami piring retak sehingga kuah sayur tumpah ke meja.
Begitupula digambarkan oleh pengarang, pengungsi yang mesti tidur di karang, di bawah rumah panggung, tidur menyilang di balik meja alias berimpitan.
"Sikap ataupun perilaku manusia kala itu digambarkan amat detil, layaknya filmis," katanya pula.
Menyinggung pembacaan Syair Lampung Karam pada malam kedua itu, Isbedy menilai, sudah lebih baik dibanding malam pertama yang juga terbilang sukses.
Meski hujan turun, antusias penonton tak reda. Padahal, panggung terbuka Pasar Seni ini arsitektur bangunannya salah, sehingga jika hujan di bangku penonton dipastikan terkena air.
"Tapi, saya bersyukur penonton tak beranjak dari tempat duduknya," kata koordinator pelaksana kegiatan dari agenda Festival Krakatau XXIV, 19--31 Agustus 2014.
Isbedy juga berterima kasih kepada Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Lampung yang bersedia mengagendakan Syair Lampung Karam ke dalam event FK XXIV.
"Ini bagian dari kesadaran pemerintah, betapa pentingnya sastra," ujarnya pula.