Jakarta (ANTARA) - Lamanya proses penyidikan dan belum tertangkapnya mantan Calon Anggota Legislatif (Caleg) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Harun Masiku (HAR) menjadi salah satu kasus yang menjadi perhatian publik pada 2020.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengakui penyelesaian kasus Harun adalah utang yang harus diselesaikan guna mencapai asas kepastian hukum dan keadilan.
Bahkan sebelumnya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron pernah mewacanakan dilakukannya persidangan in absentia (tanpa kehadiran terdakwa dalam sidang) terhadap Harun apabila berkas perkara penyidikan perkara telah rampung, namun yang bersangkutan belum berhasil ditangkap.
Diketahui selain Harun, KPK pada 9 Januari 2020 juga menetapkan tiga tersangka lainnya dalam kasus suap terkait penetapan Anggota DPR RI terpilih Tahun 2019-2024, yaitu mantan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, Kader PDIP yang juga mantan Anggota Bawaslu RI Agustiani Tio Fridelina, dan Saeful Bahri yang juga Kader PDIP.
Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta telah menjatuhkan vonis kepada Wahyu selama 6 tahun penjara ditambah denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan, sedangkan Agustiani divonis 4 tahun penjara dan denda Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan.
Dalam perkara itu, Wahyu dan Agustiani terbukti menerima uang sebesar 19.000 dolar Singapura dan 38.350 dolar Singapura atau seluruhnya Rp600 juta dari Harun.
Tujuan penerimaan uang tersebut adalah agar Wahyu dapat mengupayakan KPU menyetujui permohonan penggantian antarwaktu (PAW) Anggota DPR RI PDIP dari Dapil Sumatera Selatan 1, yakni Riezky Aprilia kepada Harun.
Dalam perkembangannya, KPK mengajukan kasasi atas putusan banding terhadap Wahyu dan Agustiani. Sedangkan sebagai perantara pemberi suap Saeful divonis 1 tahun dan 8 bulan penjara ditambah dengan Rp150 juta subsider 4 bulan kurungan dan telah berkekuatan hukum tetap.
Sejak diumumkan sebagai tersangka, KPK telah mengingatkan tersangka Harun untuk kooperatif menyerahkan diri hingga akhirnya KPK memasukkan Harun dalam status Daftar Pencarian Orang (DPO) sejak 17 Januari 2020. Selain itu, KPK juga telah mencegah Harun untuk bepergian ke luar negeri.
Harun tidak berhasil ditangkap tim KPK saat Operasi Tangkap Tangan (OTT) pada 8 sampai 9 Januari 2020. Saat itu yang berhasil ditangkap sebanyak delapan orang termasuk salah satunya Wahyu Setiawan.
KPK juga sempat mendeteksi keberadaan Harun di sekitar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) di kawasan Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, pada 8 Januari 2020 saat OTT tersebut.
Berdasarkan catatan imigrasi, Harun telah keluar Indonesia menuju Singapura pada 6 Januari 2020 melalui Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, sekitar pukul 11.00 WIB. Sejak saat itu, Harun disebut belum kembali lagi ke Indonesia.
Namun, Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM saat itu Ronny F Sompie membenarkan Harun telah berada di Jakarta sejak 7 Januari 2020.
Ronny mengakui terdapat keterlambatan waktu (delay time) dalam pemrosesan data perlintasan di Terminal 2 F Bandara Soekarno-Hatta ketika Harun Masiku melintas masuk pada 7 Januari 2020.
Gali informasi
KPK pun akhirnya kembali memeriksa saksi dalam proses penyidikan untuk tersangka Harun pada Selasa (19/1). Saksi yang dipanggil adalah advokat Daniel Tonapa Masiku sekaligus kerabat Harun.
Terkait pemeriksaan Daniel, KPK mendalami dugaan adanya jalinan komunikasi dengan tersangka Harun dan juga dikonfirmasi seputar keberadaan Harun.
Namun, Daniel mengaku tidak ada informasi yang dapat diberikan karena sudah lama tidak bertemu Harun sekitar 3 atau 4 tahun lalu.
Ia pun mengaku kaget mendengar kabar yang menyebut bahwa Harun telah meninggal dunia. Ia pun berharap kabar tersebut tidak benar.
Kabar Harun telah meninggal dunia sebelumnya pernah disampaikan oleh Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman.
Daniel mengaku bahwa Harun juga berprofesi sama dengannya, yaitu sebagai advokat. Bahkan, kata dia, Harun terlebih dahulu terjun ke dunia advokat.
Sebagai kerabat, ia pun mengharapkan Harun segera menyerahkan diri untuk memberikan kepastian bagi keluarganya.
Upaya KPK
Berbagai upaya juga telah dilakukan KPK untuk terus memburu Harun karena meyakini yang bersangkutan masih berada di Indonesia dan belum meninggal dunia.
Belum tertangkapnya Harun tetap menjadi kewajiban KPK untuk secepatnya menemukannya serta menyelesaikan pemberkasan perkaranya hingga tuntas.
Sejauh ini, menurut KPK tidak ada informasi valid yang diterima jika Harun sudah meninggal dunia.
KPK beralasan jika pihaknya tidak melihat secara langsung jenazahnya maupun lokasi makamnya di mana maka status Harun masih hidup.
"Kalau memang orangnya kalau dikatakan meninggal kan ada keterangannya meninggal di mana dari kelurahan, surat kematian tetapi sampai saat ini mungkin kami meyakini sebagai suatu hoaks saja. Bagi kami tetap terus akan mencari dan mudah-mudahan tidak dalam waktu lama ada informasi masyarakat," ucap Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Karyoto.
Upaya yang telah dilakukan KPK antara lain mengevaluasi kerja dari satuan tugas (satgas) yang ditugaskan memburu Harun, menambah personel satgas hingga menyertakan satgas pendamping. Selain itu, KPK juga terus berkoordinasi dengan Kepolisian.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pun sempat mengusulkan agar tim satgas pencarian Harun dapat dievaluasi bahkan lebih baik dibubarkan saja. Sebagai alternatif, ICW mengusulkan agar tim yang berhasil meringkus mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi, menantunya Rezky Herbiyono, dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra dapat diberdayakan untuk dapat segera meringkus Harun.
Untuk diketahui, tiga orang tersebut telah dimasukkan dalam status DPO sejak 11 Februari 2020 hingga akhirnya tertangkap di dua lokasi berbeda. Nurhadi dan menantunya ditangkap di salah satu rumah di Jakarta Selatan pada 1 Juni 2020, sementara Hiendra ditangkap di salah satu apartemen di Bumi Serpong Damai (BSD), Tangerang Selatan pada 29 Oktober 2020.
Sejak awal naik proses penyidikan, perkara atas nama tersangka Nurhadi dan kawan-kawan itu dilakukan oleh gabungan beberapa kasatgas penyidikan, salah satu di antaranya yang bertugas adalah Novel Baswedan.
Belum lama ini, KPK juga berencana membentuk satgas khusus yang memang fokus untuk memburu Harun bersama enam tersangka lainnya yang masih melarikan diri.
Pembentukan satgas khusus itu untuk efektivitas waktu dalam memburu para DPO tersebut tanpa terganggu dengan pekerjaan-pekerjaan lainnya.
"Memang perintah khusus dari pimpinan (KPK) dalam sebuah rapat pimpinan kalau kemarin-kemarin memang biasanya satgas yang menangani sambil dia menyidik yang lain sambil mencari. Ini untuk efektivitas waktu dan pencarian tentunya akan membentuk satgas khusus," ujar Karyoto.
Karyoto mengatakan satgas khusus itu bisa gabungan dari beberapa kedeputian di KPK seperti monitoring, IT, dan "surveillanve".
DPO lainnya
Untuk diketahui dari kurun waktu 2017 sampai 2020, ada 10 tersangka yang berstatus DPO KPK dan khusus di tahun 2020 telah dilakukan penangkapan tiga tersangka yang berstatus DPO dalam perkara suap terkait pengurusan perkara di MA yang dilakukan pada sekitar 2015 sampai dengan 2016, yaitu Nurhadi, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto.
Dengan demikian, KPK saat ini masih memiliki kewajiban untuk memburu tujuh tersangka berstatus DPO lainnya. Lima tersangka diantaranya adalah DPO dari 2017 sampai 2019.
Pertama, Kirana Kotama dalam perkara tindak pidana korupsi memberi hadiah atau janji terkait penunjukan Ashanti Sales Inc sebagai agen eksklusif PT PAL Indonesia (Persero) dalam pengadaan Kapal SSV untuk pemerintah Filipina pada tahun 2014-2017.
Pemberian hadiah itu ditujukan kepada Arif Cahyana selaku Kadiv Perbendaharaan PT PAL Indonesia (Persero) bersama-sama dengan M. Firmasnyah Arifin selaku Direktur Utama PT PAL Indonesia (Persero) dan Saiful Anwar selaku Direktur Desain dan Tehnologi merangkap Direktur Keuangan PT PAL Indonesia (Persero).
Kedua, Sjamsul Nursalim dalam perkara tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang dilakukan oleh tersangka Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Ketiga, Itjih Nursalim/istri Sjamsul dalam perkara tindak pidana korupsi bersama-sama dengan Syafruddin Arsyad Temenggung selaku Ketua BPPN dalam proses pemenuhan kewajiban pemegang saham BDNI kepada BPPN yang dilakukan oleh tersangka Sjamsul Nursalim selaku pemegang saham pengendali BDNI.
Keempat, Izil Azhar dalam perkara bersama-sama Irwandi Yusuf selaku Gubernur Provinsi Aceh periode 2007-2012, yaitu menerima gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya
Kelima, Surya Darmadi selaku pemilik PT Darmex/PT Duta Palma Group dalam perkara membantu memberi atau menjanjikan sesuatu kepada penyelenggara negara terkait dengan Pengajuan Revisi Alih Fungsi Hutan di Provinsi Riau kepada Kementerian Kehutanan pada tahun 2014.
Sedangkan DPO KPK pada 2020, yaitu Harun Masiku dan Pemilik PT Borneo Lumbung Energi dan Metal (BLEM) Samin Tan dalam perkara memberi hadiah atau janji kepada Eni Maulani Saragih selaku anggota DPR RI periode 2014-2019 terkait dengan Pengurusan Terminasi Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Asmin Koalindo Tuhup di Kementerian ESDM.
KPK pun berharap partisipasi aktif dari masyarakat apabila menemukan keberadaan para tersangka DPO tersebut untuk segera menghubungi Kepolisian terdekat atau langsung hubungi "call center" KPK di nomor 198.
Selain diimbau untuk menyerahkan diri, tentunya dengan usaha-usaha yang dilakukan KPK diharapkan para DPO tersebut dapat segera tertangkap dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.
KPK masih buru Harun Masiku
KPK pada 9 Januari 2020 juga menetapkan tiga tersangka lainnya dalam kasus suap terkait penetapan Anggota DPR RI terpilih Tahun 2019-2024, yaitu mantan Anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan, Kader PDIP yang juga mantan Anggota Bawaslu R