Anggota DPR sesalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PAN Saleh Partaonan Daulay menyesalkan langkah Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
"Di dalam perpres itu, Pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah terkesan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Perpres 75/2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan," kata Saleh dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Padahal, menurut dia, warga masyarakat banyak yang berharap agar putusan MA itu dapat dilaksanakan dan iuran tidak jadi dinaikkan.
Dia mengatakan, sejak awal dirinya menduga Pemerintah akan "berselancar", sehingga putusan MA akan dilawan dengan menerbitkan aturan baru.
"Mengeluarkan perpres baru tentu jauh lebih mudah dibandingkan melaksanakan putusan MA," ujarnya lagi.
Menurut dia, terkesan Pemerintah sengaja menaikkan iuran BPJS per 1 Juli 2020, dengan begitu ada masa Pemerintah melaksanakan putusan MA mengembalikan besaran iuran kepada jumlah sebelumnya yaitu Kelas I sebesar Rp80.000, Kelas II sebesar Rp51.000, dan Kelas III sebesar Rp25.500.
"Artinya Pemerintah mematuhi putusan MA itu hanya 3 bulan, yaitu April, Mei, dan Juni. Setelah itu, iuran dinaikkan lagi dan uniknya lagi, iuran untuk kelas III baru akan dinaikkan tahun 2021," ujarnya pula.
Politisi PAN itu menilai saat ini bukan waktu yang tepat menaikkan iuran BPJS Kesehatan, karena masyarakat sedang kesulitan dan dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk membayar iuran tersebut.
Padahal, menurut dia, di dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan negara harus memberikan jaminan bagi terselenggarannya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
"Saya khawatir dengan kenaikan iuran ini banyak masyarakat yang tidak bisa membayar. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan dan dampaknya bisa serius serta dapat mengarah pada pengabaian hak-hak konstitusional warga negara," ujarnya lagi.
Dia memahami bahwa negara tidak memiliki anggaran yang banyak, namun pelayanan kesehatan semestinya dijadikan sebagai program primadona karena seluruh lapisan masyarakat membutuhkannya.
Saleh khawatir perpres baru tersebut akan kembali digugat masyarakat, karena memiliki peluang untuk menggugat kenaikan iuran BPJS ke Mahkamah Agung.
"Berkaca pada gugatan sebelumnya, potensi mereka menang sangat tinggi. Semestinya, hal ini juga sudah dipikirkan pemerintah," katanya pula.
Sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Perpres tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (5/5) dan diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada Rabu (6/5).
Pepres 64/2020 mengatur perubahan besaran iuran dan bantuan iuran bagi peserta mandiri oleh pemerintah. Peserta mandiri tersebut mencakup peserta di segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).
"Di dalam perpres itu, Pemerintah kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan, Pemerintah terkesan tidak mematuhi putusan Mahkamah Agung yang membatalkan Perpres 75/2019 yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan," kata Saleh dalam keterangannya di Jakarta, Rabu.
Padahal, menurut dia, warga masyarakat banyak yang berharap agar putusan MA itu dapat dilaksanakan dan iuran tidak jadi dinaikkan.
Dia mengatakan, sejak awal dirinya menduga Pemerintah akan "berselancar", sehingga putusan MA akan dilawan dengan menerbitkan aturan baru.
"Mengeluarkan perpres baru tentu jauh lebih mudah dibandingkan melaksanakan putusan MA," ujarnya lagi.
Menurut dia, terkesan Pemerintah sengaja menaikkan iuran BPJS per 1 Juli 2020, dengan begitu ada masa Pemerintah melaksanakan putusan MA mengembalikan besaran iuran kepada jumlah sebelumnya yaitu Kelas I sebesar Rp80.000, Kelas II sebesar Rp51.000, dan Kelas III sebesar Rp25.500.
"Artinya Pemerintah mematuhi putusan MA itu hanya 3 bulan, yaitu April, Mei, dan Juni. Setelah itu, iuran dinaikkan lagi dan uniknya lagi, iuran untuk kelas III baru akan dinaikkan tahun 2021," ujarnya pula.
Politisi PAN itu menilai saat ini bukan waktu yang tepat menaikkan iuran BPJS Kesehatan, karena masyarakat sedang kesulitan dan dipastikan banyak yang tidak sanggup untuk membayar iuran tersebut.
Padahal, menurut dia, di dalam UUD 1945 pasal 28 H ayat 1 mengamanatkan bahwa setiap warga negara berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan negara harus memberikan jaminan bagi terselenggarannya pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
"Saya khawatir dengan kenaikan iuran ini banyak masyarakat yang tidak bisa membayar. Akibatnya, mereka tidak mendapatkan akses pada pelayanan kesehatan dan dampaknya bisa serius serta dapat mengarah pada pengabaian hak-hak konstitusional warga negara," ujarnya lagi.
Dia memahami bahwa negara tidak memiliki anggaran yang banyak, namun pelayanan kesehatan semestinya dijadikan sebagai program primadona karena seluruh lapisan masyarakat membutuhkannya.
Saleh khawatir perpres baru tersebut akan kembali digugat masyarakat, karena memiliki peluang untuk menggugat kenaikan iuran BPJS ke Mahkamah Agung.
"Berkaca pada gugatan sebelumnya, potensi mereka menang sangat tinggi. Semestinya, hal ini juga sudah dipikirkan pemerintah," katanya pula.
Sebelumnya, Pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Perpres tersebut ditandatangani Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Selasa (5/5) dan diundangkan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly pada Rabu (6/5).
Pepres 64/2020 mengatur perubahan besaran iuran dan bantuan iuran bagi peserta mandiri oleh pemerintah. Peserta mandiri tersebut mencakup peserta di segmen Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP).