Aksi Kamisan Lampung Prihatinkan Kemunduran Demokrasi

id Aksi Kamisan Lampung, Kemunduran Demokrasi, Protes UU MD3, RUU KUHP, Kamisan Lampung

Aksi Kamisan Lampung Prihatinkan Kemunduran Demokrasi

Para aktivis di Lampung menggelar Aksi Kamisan di Tugu Adipura Bandarlampung, Kamis (22/2). (FOTO: ANTARA Lampung/ist))

Bandarlampung (Antaranews Lampung) - Sejumlah aktivis di Lampung menggelar Aksi Kamisan untuk menyuarakan keprihatinan kecenderungan kemunduran demokrasi antara lain adanya upaya pengebirian hak berpendapat dan sikap kritis melalui pengesahan Rancangan Undang Undang tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (MD3).

Puluhan aktivis itu menggelar Aksi Kamisan, di Tugu Adipura Kota Bandarlampung, Kamis (22/2), antara lain berasal dari LBH Bandarlampung, Walhi Lampung, LMND Lampung, SP Sebai Lampung, SMI Lampung, BEM Malahayati, Woman Smart, AJI Bandarlampung, HMI Bandarlampung, bersama organisasi-organisasi multisektor gerakan rakyat.

Mereka yang tergabung dalam rangkaian kegiatan Aksi Kamisan itu, antara lain menuntut Pemerintah Indonesia untuk membatalkan dan mencabut Rancangan KUHP dan UU MD3 yang membatasi ruang demokrasi dan bersifat diskriminatif bagi rakyat Indonesia.

Dalam pernyataan tertulisnya, aktivis dalam Aksi Kamisan itu mendesak pemerintah didesak memberikan hak demokratis bagi rakyat (berkumpul, berorganisasi, menyampaikan pendapat) dan menghentikan segala bentuk intimidasi, represif, dan kriminalisasi kepada rakyat.

Berkaitan dengan pengesahan RUU MD3 oleh DPR, para aktivis di Lampung itu, menyebutkan beberapa pasal yang menjadi fokus utama sehingga perlu dilakukan pengkajian ulang karena berpotensi mengganggu iklim demokrasi sehat dan penegakan hukum yang tidak pandang bulu di negeri ini. Pasal-pasal tersebut di antaranya (pasal 122 huruf K): "Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR."

Klausul merendahkan kemudian menjadi sebuah hal absurd yang mau tidak mau harus diterima oleh rakyat. Klausul "merendahkan" di sini bisa diasumsikan bagai "pisau bermata dua". Hal ini sangat dimungkinkan ketika rakyat menuangkan aspirasinya atas kinerja wakilnya (lagi-lagi apabila kritikan itu diasumsikan DPR mengganggu kepentingannya) maka rakyat pun dapat dijerat dengan pasal tersebut.

Lalu, pasal 245 ayat 1: "Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam pasal 224 harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehormatan Dewan."

Pasal itu dinilai pelanggaran atas prinsip equality before the law (kesamaan di muka hukum) sebagai prinsip penegakan hukum. Padahal seharusnya semua sama di muka hukum tanpa adanya pembeda. Namun, pemberlakuan pasal ini justru dapat merusak tatanan penegakan hukum di negeri ini.

Hal ini dimungkinan pada saat anggota DPR melakukan tindakan yang tidak benar sehubungan dengan pelaksanaan tugasnya, tidak dapat dikenai penindakan hukum ketika belum ada persetujuan tertulis dari Presiden dan Dewan Kehormatan Dewan, sehingga menjadikan DPR semakin sulit untuk dilakukan penegakan hukum dan kebal terhadap hukum.

Begitu pun upaya membungkam kritik dari rakyat terhadap pemerintah, dengan adanya Rancangan KUHP (RKUHP) tentang pasal penghinaan terhadap Presiden semakin memperburuk kondisi demokrasi yang ada, selain mengandung makna yang multitafsir. Pasal penghinaan presiden akan membuka ruang untuk mengkriminalisasi individu atau kelompok yang dianggap menghina presiden tanpa perlu diadukan terlebih dahulu.

Lalu, pasal-pasal dalam Bab Kesusilaan yang terkait dengan pencabulan anak dan zina yang merupakan bentuk diskriminasi terhadap anak. Banyak pasal-pasal yang justru menyebabkan multitafsir dan jauh terhadap perlindungan perempuan dan anak, justru bertentangan dengan penjaminan hak asasi manusia khususnya hak atas kesamaan di depan hukum, hak bebas dari diskriminasi, dan hak atas perlindungan diri pribadi, sebagaimana dijamin dalam pasal 27 ayat (1), pasal 28I ayat (2), dan pasal 28G ayat (1) Undang Undang Dasar 1945.