LBH Gelar Refleksi 29 Tahun Talangsari Lampung

id Aksi Kamisan LBH Bandarlampung, Aksi Kamisan LBH Bandarlampung, Kasus Talangsari Lampung, Kasus Talangsari, Peristiwa Talangsari

LBH Gelar Refleksi 29 Tahun Talangsari Lampung

Aksi Kamisan digelar LBH Bandarlampung dan jaringan, di Bandarlampung, Kamis (8/2), untuk mendesak penuntasan kasus pelanggaran HAM masa lalu. (FOTO: ANTARA Lampung/ist))

Bandarlampung (Antaranews Lampung) - Sejumlah komponen masyarakat sipil yang terdiri dari LBH Bandarlampung, PK2TL, KontraS, dan Indonesia untuk Kemanusian (IKA) serta akademisi melakukan doa bersama dan diskusi publik.

Dalam rilis yang diterima, disampaikan pelaksanaan diskusi publik ini membedah sejauhmana proses penuntasan kasus Talangsari Lampung yang diadakan di kantor LBH Bandarlampung, Kamis (8/2).

Direktur LBH Bandarlampung Alian Setiadi menyatakan, pelaksanaan diskusi itu sebagai memontum refleksi 29 tahun pelanggaran HAM berat di Talangsari.
 
Diskusi yang dilaksanakan juga diikuti oleh sejumlah keluarga dan korban kejahatan HAM berat Talangsari tersebut memberikan pernyataan dan ungkapan tragedi mengenaskan tersebut.

Pelaksanaan diskusi diawali dengan menonton film dokumenter Talangsari yang dibuat oleh KontraS. Dalam film tersebut memperlihatkan bagaimana kondisi faktual hari ini dialami korban maupun lokasi kejadian. Terdapat pula beberapa pengungkapan sejarah saksi hidup waktu kejadian. Keluarga korban memperlihatkan gambaran bagaimana sadis tindakan kekejian yang terjadi di Talangsari.

Dalam diskusi juga  mengemuka bahwa persoalan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk kasus Talangsari hanya dijadikan komoditas politik elit kekuasaan.

Presiden Joko Widodo pada masa kampanye Pilpres 2014, dan kemudian di dalam dokumen Nawa Cita telah menjadikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai prioritas untuk diselesaikan secara berkeadilan. Namun faktanya hingga saat ini Pemerintahan Jokowi dinilai belum memenuhi atas janji tersebut.

Para korban yang hadir dalam diskusi ini sangat menyesalkan sikap pemerintahan saat ini hanya menjadikan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sebagai lips service untuk meraup dukungan publik semata. Presiden Jokowi malah mengangkat figur-figur pelanggar HAM di dalam lingkaran kekuasaannya. Tindakan ini bukan saja telah mencederai rasa keadilan bagi korban, tetapi juga menghambat proses hukum terhadap peristiwa pelanggaran HAM di Indonesia. Pemerintah didesak bersungguh-sungguh menyelesaikan permasalahan impunitas dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu tersebut.

Peristiwa Talangsari sebenarnya telah telah lama selesai proses penyelidikan projustisia oleh Komnas HAM. Pada 28 Oktober 2008, Komnas HAM telah menyerahkan hasil penyelidikannya ke Kejaksaan Agung, tetapi hingga saat ini tidak ditindaklanjuti ke tahap penyidikan oleh Jaksa Agung. Pemerintah diminta bersikap tegas dan tidak menutup mata atas penderitaan para korban yang mengharapkan keadilan.

Fakta di lapangan bahwa korban terus menerus dalam keadaan yang tidak kunjung mendapat kejelasan, bahkan upaya yang dilakukan oleh korban dan pendamping selalu mendapatkan resistensi aparat negara.

Segala upaya untuk mengungkapkan kebenaran atas peristiwa ini banyak terkendala di tengah jalan. Padahal korban menuntut agar harkat dan martabat dipulihkan selayaknya. Stigma dan diskriminasi yang sampai hari ini masih diterima oleh korban. Padahal kesamaan dan kesetaran harus dipenuhi oleh negara kepada warga negaranya.

Pelaksanaan kegiatan Refleksi 29 Tahun Talangsari diakhiri dengan acara Kamisan yang dilakukan oleh jaringan yang diikuti oleh LBH Bandarlampung, KontraS, PK2TL, LBH Jogja, LMND, Setara Institute, HMI Hukum Unila, Mahkamah FH Unila, BEM FH Unila, AJI Bandarlampung, Mahusa Unila, BEM Malayahati, Imparsial, SP Sebai Lampung, Amnesty Internasional, Damar, BEM FH UBL, dan SMI.

Acara Kamisan dilakukan dengan orasi ilmiah yang digelar di Bundaran Adipura, Kota Bandarlampung.

LBH Bandarlampung mendorong pemerintah untuk menyelesaikan peristiwa pelanggaran HAM berat Talangsari. Negara harus bertanggung jawab secara penuh baik hak atas kebenaran, keadilan, reparasi dan hak-hak ekonomi sosial budaya. Pengakuan terhadap hak-hak korban harus menjadi perhatian yang serius dan harus cepat dipenuhi oleh negara. Pemenuhan hak atas pelayanan dasar seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan menjadi prioritas utama yang harus dilakukan oleh negara. Pengungkapan kebenaran dan keadilan harus dilakukan, agar ke depan tidak lagi terjadi dan mengulang tragedi kejahatan HAM khususnya di Lampung, demikian Direktur LBH Bandarlampung Alian Setiadi.