Gus Mus, Politik Praktis, dan NU Pascamuktamar

id Muktamar NU, PB NU, Rais Aam PB NU

Jombang, Jatim (ANTARA Lampung) - "Saya dan kiai-kiai sepuh (senior) serta rais-rais syuriah prihatin dengan situasi ini. Di sini (Jombang), NU didirikan, apa kita mau meruntuhkannya di sini juga".

Itulah "fatwa" Rais Aam PBNU 2010-2015 yang juga pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin, Rembang, Jawa Tengah, K.H. Mustofa Bisri, yang akrab disapa Gus Mus, di Jombang, Jawa Timur, 2 Agustus 2015.

Fatwa Gus Mus yang merupakan tokoh sentral dalam Muktamar Ke-33 NU di Jombang pada 1--5 Agustus 2015 itu menyudahi polemik terkait mekanisme pemilihan tidak langsung melalui musyawarah mufakat atau "ahlul halli wal aqdi" (AHWA) yang sengit.

Saking sengitnya, polemik AHWA menyita waktu hingga hampir dua hari, sehingga muktamar pun molor dari rencana penutupan pada 5 Agustus 2015 menjadi 6 Agustus 2015, bahkan wapres pun batal menutup.

"Setelah saya rapat dengan para Rais Syuriah, kami memutuskan bahwa pemilihan Rais Aam dipilih secara musyawarah mufakat atau secara 'voting' oleh para rais syuriah," ujar Gus Mus lagi.

Di lokasi Sidang Pleno Muktamar Ke-33 NU, ia pun meminta maaf.

"Maafkan saya terkait semua hal (polemik), doakan ini adalah kali terakhir saya menjabat (Rais Aam)," tuturnya, berpamitan.

Selain menyatakan kemungkinan keruntuhan NU dan meminta maaf, serta menyudahi jabatannya, Gus Mus juga mengingatkan bahwa NU lebih besar dari masalah "tetek bengek" (polemik) itu.

Fatwa itu tidak hanya meminta muktamirin untuk melakukan musyawarah mufakat dan jika tidak bisa akan dilakukan secara "voting", namun Gus Mus juga tidak mau jabatan (Rais Aam PBNU) lagi.

Tentu, sikap Gus Mus itu aneh untuk ukuran saat ini, tapi sikapnya itu menohok para tokoh NU. Pesan penting Gus Mus adalah tidak menomersatukan jabatan, tapi menomersatukan NU.

Bahkan, saat sembilan kiai yang tergabung dalam AHWA yang dipimpin K.H. Maemun Zubeir (Sarang, Jateng) memintanya menjadi Rais Aam PBNU pun, Gus Mus justru menunjuk K.H. Maemun Zubeir yang lebih pantas.

Sikap Gus Mus menunjuk Mbah Maemun itu juga bukan hal baru, karena sikap serupa sudah pernah ditunjukkan saat berbicara dalam bedah buku bertajuk "Kiai Bisri Syansuri, Tegas Berfiqih, Lentur Bersikap" di Gedung PWNU Jatim, 1 Februari 2015.

"Kalau saya itu tidak pantas, karena ilmu saya hanya seujung kuku. Saya kira ulama yang pantas adalah K.H. Tholhah Hasan atau K.H. Muchit Muzadi," katanya dalam bedah buku terbitan Yayasan PP Mambaul Maarif, Denanyar, Jombang, Jawa Timur itu.

Bahkan, ketika Mbah Maemun dan Muchit Muzadi tidak mau pun (Mbah Maemun menolak karena dia ingin istikamah mengasuh pesantren.

"Sudah banyak kiai yang meninggalkan pesantren, saya akan ke pesantren saja," ucap Mbah Maemun.

Ternyata, Gus Mus tetap saja bersikeras untuk tidak mau, selama kedua kiai sepuh/ulama yang dihormatinya itu masih hidup.

Alih-alih menerima jabatan itu, Gus Mus justru menghindari (jabatan) dengan mencontohkan sikap kiai sepuh ketika Muktamar NU di Surabaya.

"Muktamarin mencalonkan Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Bisri Syansuri menjadi Rais Aam Syuriah PBNU," katanya.

Saat itu, muktamirin yang mendukung Kiai Bisri Syansuri beralasan bahwa Kiai Wahab Chasbullah sudah uzur akibat mata yang sulit untuk melihat, sehingga kasihan jika menjadi orang nomer satu di PBNU.

Namun, Kiai Bisri Syansuri yang didukung para ulama justru mengambil mikrofon dan menyatakan dirinya tidak akan mau menjadi Rais Aam Syuriah PBNU selama K.H. Wahab Chasbullah masih hidup.

"Janji itu dipenuhi hingga Kiai Wahab Chasbullah wafat. Jadi, kita perlu belajar banyak kepada para pendiri NU yang tidak tertarik dengan jabatan, karena jabatan merupakan amanat yang berat untuk dipertanggungjawabkan di akhirat kelak," katanya.

Fakta lain, saat Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asyari menjadi Rais Akbar, maka K.H. Wahab Chasbullah justru hanya mau menjadi Katib (sekretaris di jajaran syuriah) atau hanya wakil rais, sedangkan K.H. Bisri Syansuri justru memilih A'wan (pembantu umum/Dewan Ahli). Ya, Gus Mus berusaha meneladani para pendiri NU itu.

                                    Politik Praktis
Agaknya, Gus Mus hanya sendirian dengan sikap yang sesungguhnya patut diteladani itu, karena elit NU dalam Muktamar Ke-33 NU justru melakukan sikap cukup remeh temeh dengan target jabatan dan kepentingan politik praktis.

Polemik AHWA adalah contoh paling kentara dalam muktamar yang berlangsung di "bumi kelahiran" NU pada 1-5 Agustus 2015 itu, yang menunjukkan fatwa "sikap menolak jabatan" itu dianggap angin lalu.

Tujuan AHWA untuk mengembalikan kepemimpinan ulama justru hanya menjadi "alat" untuk jabatan dan kepentingan politik praktis, sehingga sejumlah elit NU mengusung AHWA itu justru untuk menghadang elit NU lain.

Satu kubu dari elit NU berharap AHWA, karena kalau pemilihan langsung, maka tokoh NU tertentu akan berpeluang terpilih sebagai Rais Aam PBNU, sehingga calon Ketua Umum PBNU yang didukungnya akan kehilangan peluang.

Padahal, calon Ketua Umum PBNU yang didukungnya itulah yang diharapkan akan mendukungnya untuk maju dalam pertarungan pemilihan kepala daerah pada tingkat regional dan juga tingkat nasional.

Oleh karena itu, sejumlah elit NU itu pun mati-matian mengegolkan AHWA, namun tujuan elit NU itu sebenarnya bukan karena "kebaikan" dari AHWA, melainkan lebih pada penghadangan calon lain.

Namun, muktamirin tidak mengetahui tujuan di balik AHWA itu dan para muktamirin hanya dicekoki bahwa AHWA itu baik dan akan membawa kebaikan untuk NU, karena AHWA akan mengembalikan NU pada kemimpinan ulama.

Tidak hanya itu, berbagai modus yang tidak sehat pun dilakukan elit NU yang mengaku "santri" dari para kiai, namun bukannya membantu, tapi "mengatur" para kiai dan muktamirin melalui rekayasa pertengkaran (ricuh), rekayasa "memilah" peserta sidang AHWA yang sepaham, dan penggalangan pro-AHWA melalui politik uang dan pengamanan ekstra ketat.

"Ini muktamar yang paling berat pascareformasi. Ada silang soal dalam muktamar ini dan memang ada keinginan dari banyak kelompok yang memaksakan AHWA," kata pemerhati NU, Aan Anshori, dalam perbincangan dengan wartawan di Jombang, 4 Agustus 2015.

Koordinator Jaringan GusDurian Jawa Timur itu, menyatakan model pemilihan AHWA cenderung ada pemaksaan, karena model itu seharusnya dilakukan dengan terlebih dulu melakukan perubahan dalam AD/ART organisasi.

"Hal itu (pemaksaan AHWA) yang memicu perbedaan pendapat berlarut-larut, bahkan menimbulkan pertentangan di muktamar, karena satu pihak menginginkan agar muktamar sesuai dengan AD/ART, tapi pihak lain ingin AHWA diberlakukan saat ini juga," katanya.

Ketua Jaringan Alumni Santri Jombang (JAS Ijo) itu menandaskan dengan keputusan pemberlakuan AHWA dalam muktamar itu, menunjukkan adanya unsur manipulatif (rekayasa), karena sistem AHWA seharusnya diterapkan dengan mengubah AD/ART, tapi nyatanya dipaksakan, karena target-target politik praktis.

Pandangan itu senada dengan Indonesianis Martin van Bruinessen saat berbicara dalam diskusi bertajuk "Menjelang Satu Abad: Quo Vadis NU" di Universitas KH Hasyim Asy'ari (Unhasy), Kompleks Pesantren Tebuireng, Jombang, 1 Agustus 2015.

"NU memerlukan pemimpin kharismatik yang mengutamakan pemberdayaan 'akar rumput' dan tidak mementingkan elit," katanya dalam diskusi dengan pembicara lain Prof Emeritus Mitsuo Nakamura (Chiba University, Jepang) dan Prof Haris Supratno (Wakil Rektor Unhasy) itu.

Martin menyebut KHA Sahal Mahfudh merupakan tipe ulama kharismatik terakhir.

"Tapi, saya optimistis muktamirin bisa menemukan ulama kharismatik itu dalam muktamar kali ini," imbuh peninjau Muktamar NU hingga delapan kali itu.

Baginya, pemimpin kharismatik itu bukan pemimpin yang semata-mata pintar atau intelektual, karena kiai yang pintar itu sudah banyak dimiliki NU, seperti K.H. Husein Muhammad yang melakukan studi ke Mesir dan Belanda.

"Tapi, dia hanya menantu," katanya.

Jadi, pemimpin kharismatik yang mungkin mirip Gus Mus itu tidak ditentukan dengan mekanisme AHWA atau tidak, karena hal terpenting adalah pemimpin itu tidak menomersatukan jabatan, tapi menomersatukan umat NU.

"Di sini (Jombang), NU didirikan, apa kita mau meruntuhkannya di sini juga," gumam Gus Mus saat berpamitan dari kepengurusan PBNU untuk menyindir elit NU yang "doyan" kepentingan politik praktis dibandingkan dengan mengutamakan kepentingan umat NU.