Bandar Lampung (ANTARA) - Empat orang pelajar di Kota Bandarlampung mengikuti sistem belajar dalam jaringan (daring) akibat pandemi COVID-19 yang masih ada saat ini, dengan memanfaatkan wifi internet milik tetangganya, mengingat kuota internat yang dimiliki tidak mencukupi.
Empat pelajar itu adalah Firnando (15), Ali (15), Rezi (12), dan Faiz (12) yang tinggal di Jalan Nangka, Gang Stiap, Kelurahan Sepang Jaya, Kecamatan Labuhan Ratu.
Mereka terpaksa memanfaatkan wifi internet tetangga sebagai akses ke dunia maya, karena orang tua mereka tidak bisa membelikan kuota lebih untuk mereka.
Setiap pagi keempat pelajar ini duduk berjejer di samping tembok indekosan yang memiliki akses internet, dengan beralaskan batu bata dan papan bekas, mereka berteduh di bawah pohon pisang namun mereka tetap bersemangat untuk mengikuti pelajaran yang diberikan guru mereka.
Ali, salah seorang siswa kelas 10 yang bersekolah di SMA Gajah Mada menuturkan, mengikuti pelajaran secara daring cukup menguras kuota internet.
Ia mengaku ayahnya hanya seorang kuli bangunan dan hanya mampu memberi jatah kuota 1 GB per minggunya untuknya melakukan sekolah.
"Untuk kebutuhan mengikuti pelajaran, satu hari bisa memakan kuota data sampai 1 GB lebih. Kalau cuma ngirim tugas paling habis 500 Mb, tapi kalau ikut zoom bisa 1 GB lebih," ujarnya, Kamis.
Ali menambahkan, dirinya beserta ketiga temannya yang bernasib sama, tak ingin menambah beban para orang tua mereka, dengan belajar di kebun untuk mendapatkan internet gratis.
"Kami sudah mendapatkan izin dari pemilik indekosan. Namun, kata sandi agar ponsel mereka bisa terhubung jangan sampai diberikan ke orang lain. Yang punya wifi sudah meninggal, tapi dia sudah kasih izin kita buat pake wifinya," ujarnya pula.
Firnando, salah seorang pelajar kelas 9 SMPN 19 Bandarlampung mengaku, dirinya mendapatkan jatah kuota dari orang tuanya 1,5 Gb per minggu. Jatah tersebut diakui jauh dari kata cukup, karena penggunaan per hari bisa lebih 500 Mb mengingat kondisi keuangan ayahnya hanya seorang juru parkir yang tidak memungkinkan untuk memberi kuota lebih untuknya.
Firnando bersyukur karena dirinya dan kawan-kawannya masih bisa terbantu dengan Internet milik tetangganya itu, namun mereka masih mendapat kendala saat hujan turun, karena tidak bisa mengikuti pelajaran pada hari itu, dan pasrah karena tak ada pilihan lain selain menggantungkan akses internet dari wifi milik tetangga.
"Kadang kalau hujan itu, ya nggak bisa absen, kadang juga ngirimnya telat jadi nggak diterima lagi sama gurunya. Kalau kuota ada enak masih bisa kirim tugas, ikut zoom. Ya kalau lagi nggak ada terpaksa absennya dibuat alpa," ujarnya lagi.
Empat pelajar ini menuturkan, demi mendapatkan wifi internet milik tetangga, mereka bertempat menjadi perhatian warga sekitar, karena tempat mereka menyambungkan koneksi internet merupakan sarang ular, dan itu tidak menyurutkan mereka untuk tetap dapat mengikuti pelajaran secara online. Tak jarang ular tersebut ditangkap sendiri oleh Firnando.
"Gak takut, kadang lagi mau ngirim tugas, ya ada biawak. Pernah juga ada ular sanca tiba tiba nongol," katanya lagi.
Baca juga: Tahun ajaran baru, kegiatan belajar mengajar masih dilakukan secara daring
Orang tua Rezi, Eni Murya Sari (38) mengaku prihatin dengan kondisi anaknya. Dirinya was was hanya bisa memantau dari kejauhan saat anaknya masuk ke dalam kebun pisang untuk belajar secara daring dan menyambung internet gratis milik tetangganya, karena keadaan ekonomi keluarga yang tak memungkinkan.
"Sebenarnya ya saya was was, karena di sana itu sarang ular. Tapi mau gimana lagi, saya mau beli kuota lebih buat anak saya nggak ada uang," ujar ibu dua anak ini.
Eni menambahkan, setiap anaknya sedang melakukan belajar secara daring dengan menggunakan fasilitas wifi yang terletak di kebun belakang rumah tetangganya tersebut, dirinya selalu memastikan tidak terjadi apa-apa terhadap anaknya.
"Sebentar-sebentar pasti saya panggil. Namanya ibu sama anak pasti cemas, kan di sana itu sarang ular, tapi mereka ya biasa aja nggak takut gitu," katanya.
Menurut Eni, sistem belajar daring saat ini sangat memberatkan, karena dirinya dan suami harus menambah pengeluaran selain untuk membeli kebutuhan pokok, juga harus membeli kuota internet untuk anaknya yang duduk di bangku sekolah dasar sebesar Rp200 ribu sebulan.
"Saya mah mas, mending anak belajar di sekolah aja, masalahnya dengan uang segitu itu, saya sudah bisa beli kebutuhan sehari-hari buat sebulan," katanya mengeluhkannya.
Baca juga: Aktivis ingatkan orang tua untuk dampingi anak belajar daring