Rektor UIN Suka tegaskan konsep "Milk Al-Yamin" tak cocok diterapkan di Indonesia
Dia mengatakan disertasi itu masuk dalam kategori pemikiran yang menyimpang dan harus ditolak karena dapat menimbulkan kerusakan moral/akhlak umat dan bangsa.
Yogyakarta (ANTARA) - Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Prof Yudian Wahyudi menilai isi disertasi doktor Abdul Aziz tentang konsep "Milk al-Yamin" sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non-Marital atau di luar pernikahan tidak cocok diterapkan di Indonesia.
Dia mengatakan disertasi itu masuk dalam kategori pemikiran yang menyimpang dan harus ditolak karena dapat menimbulkan kerusakan moral/akhlak umat dan bangsa. saat jumpa pers di Kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Jumat (30/8).
Hal itu disampaikan Yudian, untuk meluruskan kontroversi yang muncul terkait disertasi mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, Adul Aziz yang berjudul "Konsep Milk Al-Yamin: Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital".
Menurut Yudian, dewan penguji meluluskan disertasi Abdul Aziz dengan nilai sangat memuaskan bukan berarti serta merta sepakat konsep "Milk Al-Yamin" diterapkan di Indonesia.
Meski demikian, Abdul Aziz sebagai peneliti dinilai objektif dalam mengkaji dan mengkritisi pendapat dari intelektual muslim asal Suriah Muhammad Syahrur baik dari segi linguistik maupun pendekatan gender.
Jika ingin diberlakukan, tambah Yudian, pandangan Syahrur harus ditambah akad nikah, wali, saksi, dan mahar. Konsekuensinya, kata-kata Syahrur "jika masyarakat menerima", maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak.
"Dalam konteks Indonesia dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disahkan jadi Undang-Undang. Tanpa proses ini tidak dapat diberlakukan di Indonesia," kata dia.
Salah satu penguji disertasi Abdul Aziz, Prof Euis Nurlaila mengatakan disertasi itu merupakan kajian ilmiah atas pemikiran Syahrur. Abdul Aziz memahami bahwa konsep "Milk Al-Yamin" hubungan seksual di luar pernikahan diperbolehkan dalam Islam.
Dalam disertasinya, Abdul menekankan bahwa Syahrur mengembangkan konsep ini untuk diterapkan di masa sekarang dalam beberapa bentuk pernikahan atau tepatnya hubungan seksual seperti nikah misyar, nikah pertemanan atau lainnya.
"Tujuan Syahrur dalam pemahaman penulis (Abdul Aziz) adalah untuk melindungi institusi perkawinan yang diagungkan Syariat Islam untuk menjadi keluarga yang sakinah, bahagia, dan damai," kata dia.
Sementara itu, Alimatul Qibtiyah, penguji disertasi Abdul Aziz lainnya, menilai pemikiran Syahrur mengakui konsep "Milk Al-Yamin" problematis terutama jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender.
Perspektif yang digunakan Syahrur, menurut dia, lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh "dinikahi" secara non-marital (nikah hanya untuk kepuasan seksual). "Tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang ada di rumah), kesehatan reproduksi, hak-hak anak, dan hak-hak perempuan dari pernikahan non-marital," kata dia.
Promotor disertasi Abdul Aziz, Prof Khoirudin Nasution menjelaskan dalam disertasi yang ditulis Abdul Aziz, konsep Milk Al Yamin yang dicetuskan oleh Muhammad Syahrul mencoba mengontekstualisasikan dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis yakni nikah al-mut'ah, nikah al-muhallil, nikah al-'irfi, nikah al-misfar, nikah friend, serta nikah al-musakanah.
Nikah-nikah sejenis itu, menurut dia, umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Syahrur hidup lama. Secara hermeneutika konteks inilah yang menginspirasi pandangan Syahrur.
"Jenis-jenis nikah ini telah ada dalam tradisi muslim dengan hukum kontraversial. Ada ulama yang membolehkan, dan ada muslim yang mengamalkan. Sebaliknya ada ulama yang mengharamkan," kata Khoirudin.
Khoirudin mengatakan dalam konsepnya, Syahrur ingin menyampaikan pesan agar masyarakat tidak begitu mudahnya menyebut atau menuduh orang berzina. Sebab syarat pembuktian zina sesuai Kitab Suci Al-Quran sangat ketat dan harus disaksikan empat orang saksi.
"Syahrur ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentimen pribadi (politik), bukan atas pembuktian," kata dia.
Sayangnya, lanjut Khoirudin, dalam abstrak disertasi Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Abdul, kata dia, justru menyebut konsep Syahrur ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual non-marital.
"Kalimat terakhir ini juga menjadi bagian dari keberatan tim penguji promosi. Selanjutnya, tim meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak untuk disesuaikan dengan isi disertasi," kata dia.
Sementara itu, saat dimintai konfirmasi Abdul Aziz yang juga dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta menjelaskan bahwa latar belakang disertasi itu ditulis antara lain untuk merespons fenomena kriminalisasi hubungan seksual non-marital yang dicontohkan dalam kasus perajaman di aceh karena zina pada 1999.
Contoh lainnya, di Ambon di mana anggota laskar jihad dihukum mati karena dianggap zina. Demikian pula dibanyak tempat di luar negeri seperti di Nigeria semua itu merupakan fenomena yang berangkat dari menstigma hubungan seksual di luar nikah.
"Dari situlah saya merasa ada kegelisahan intelektual ya. Untuk mengangkat sebuah tema yang berkaitan dengan konsep seksualitas manusia. Betulkah sekejam itu hukuman bagi manusia yang melakukan hubungan seksual nonmarital," kata dia.
Dia mengatakan disertasi itu masuk dalam kategori pemikiran yang menyimpang dan harus ditolak karena dapat menimbulkan kerusakan moral/akhlak umat dan bangsa. saat jumpa pers di Kampus UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Jumat (30/8).
Hal itu disampaikan Yudian, untuk meluruskan kontroversi yang muncul terkait disertasi mahasiswa Program Doktor UIN Sunan Kalijaga, Adul Aziz yang berjudul "Konsep Milk Al-Yamin: Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital".
Menurut Yudian, dewan penguji meluluskan disertasi Abdul Aziz dengan nilai sangat memuaskan bukan berarti serta merta sepakat konsep "Milk Al-Yamin" diterapkan di Indonesia.
Meski demikian, Abdul Aziz sebagai peneliti dinilai objektif dalam mengkaji dan mengkritisi pendapat dari intelektual muslim asal Suriah Muhammad Syahrur baik dari segi linguistik maupun pendekatan gender.
Jika ingin diberlakukan, tambah Yudian, pandangan Syahrur harus ditambah akad nikah, wali, saksi, dan mahar. Konsekuensinya, kata-kata Syahrur "jika masyarakat menerima", maka harus mendapatkan legitimasi dari ijmak.
"Dalam konteks Indonesia dibuat usulan melalui MUI kemudian dikirim ke DPR, agar disahkan jadi Undang-Undang. Tanpa proses ini tidak dapat diberlakukan di Indonesia," kata dia.
Salah satu penguji disertasi Abdul Aziz, Prof Euis Nurlaila mengatakan disertasi itu merupakan kajian ilmiah atas pemikiran Syahrur. Abdul Aziz memahami bahwa konsep "Milk Al-Yamin" hubungan seksual di luar pernikahan diperbolehkan dalam Islam.
Dalam disertasinya, Abdul menekankan bahwa Syahrur mengembangkan konsep ini untuk diterapkan di masa sekarang dalam beberapa bentuk pernikahan atau tepatnya hubungan seksual seperti nikah misyar, nikah pertemanan atau lainnya.
"Tujuan Syahrur dalam pemahaman penulis (Abdul Aziz) adalah untuk melindungi institusi perkawinan yang diagungkan Syariat Islam untuk menjadi keluarga yang sakinah, bahagia, dan damai," kata dia.
Sementara itu, Alimatul Qibtiyah, penguji disertasi Abdul Aziz lainnya, menilai pemikiran Syahrur mengakui konsep "Milk Al-Yamin" problematis terutama jika dilihat dari perspektif kesetaraan gender.
Perspektif yang digunakan Syahrur, menurut dia, lebih menekankan kriteria perempuan yang boleh "dinikahi" secara non-marital (nikah hanya untuk kepuasan seksual). "Tidak melihat dampak yang ditimbulkan terhadap istri pertama (istri yang ada di rumah), kesehatan reproduksi, hak-hak anak, dan hak-hak perempuan dari pernikahan non-marital," kata dia.
Promotor disertasi Abdul Aziz, Prof Khoirudin Nasution menjelaskan dalam disertasi yang ditulis Abdul Aziz, konsep Milk Al Yamin yang dicetuskan oleh Muhammad Syahrul mencoba mengontekstualisasikan dalam kehidupan kontemporer sekarang dengan beberapa perkawinan yang bertujuan memenuhi kebutuhan biologis yakni nikah al-mut'ah, nikah al-muhallil, nikah al-'irfi, nikah al-misfar, nikah friend, serta nikah al-musakanah.
Nikah-nikah sejenis itu, menurut dia, umum dilakukan orang-orang Eropa, termasuk Rusia, di mana Syahrur hidup lama. Secara hermeneutika konteks inilah yang menginspirasi pandangan Syahrur.
"Jenis-jenis nikah ini telah ada dalam tradisi muslim dengan hukum kontraversial. Ada ulama yang membolehkan, dan ada muslim yang mengamalkan. Sebaliknya ada ulama yang mengharamkan," kata Khoirudin.
Khoirudin mengatakan dalam konsepnya, Syahrur ingin menyampaikan pesan agar masyarakat tidak begitu mudahnya menyebut atau menuduh orang berzina. Sebab syarat pembuktian zina sesuai Kitab Suci Al-Quran sangat ketat dan harus disaksikan empat orang saksi.
"Syahrur ingin mengubah hukum zina yang didasarkan pada sentimen pribadi (politik), bukan atas pembuktian," kata dia.
Sayangnya, lanjut Khoirudin, dalam abstrak disertasi Abdul Aziz tidak menulis kritik tersebut. Abdul, kata dia, justru menyebut konsep Syahrur ini sebagai teori baru dan dapat dijadikan justifikasi keabsahan hubungan seksual non-marital.
"Kalimat terakhir ini juga menjadi bagian dari keberatan tim penguji promosi. Selanjutnya, tim meminta Abdul Aziz menyempurnakan abstrak untuk disesuaikan dengan isi disertasi," kata dia.
Sementara itu, saat dimintai konfirmasi Abdul Aziz yang juga dosen Fakultas Syariah IAIN Surakarta menjelaskan bahwa latar belakang disertasi itu ditulis antara lain untuk merespons fenomena kriminalisasi hubungan seksual non-marital yang dicontohkan dalam kasus perajaman di aceh karena zina pada 1999.
Contoh lainnya, di Ambon di mana anggota laskar jihad dihukum mati karena dianggap zina. Demikian pula dibanyak tempat di luar negeri seperti di Nigeria semua itu merupakan fenomena yang berangkat dari menstigma hubungan seksual di luar nikah.
"Dari situlah saya merasa ada kegelisahan intelektual ya. Untuk mengangkat sebuah tema yang berkaitan dengan konsep seksualitas manusia. Betulkah sekejam itu hukuman bagi manusia yang melakukan hubungan seksual nonmarital," kata dia.