Bandarlampung (ANTARA) - Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mempertanyakan mekanisme restorative justice yang digunakan penegak hukum untuk membebaskan para tersangka penggelapan dana perusahaan besar Arab Saudi yang selama ini berinvestasi di Indonesia.
Menurut dia, pemberian mekanisme perdamaian dan penghentian kasus tersebut perlu dievaluasi karena biasanya hanya digunakan untuk kasus pidana ringan bukan kasus besar yang melibatkan dana besar.
"Kalau diselesaikan oleh mekanisme restorative justice tentu patut dipertanyakan. Saya pikir harus dievaluasi dan nanti kita akan pertanyakan saat Raker di komisi III," ujarnya dalam pernyataan di Bandarlampung, Selasa.
Nasir pun mendorong pihak-pihak yang dirugikan terkait dengan kasus pembebasan dua tersangka WNA asal India yakni Abdul Samad dan Samsu Hussain dalam kasus penggelapan dana tersebut untuk melapor ke bagian internal yang mengawasi penegakan hukum polisi.
"Jika ada kekeliruan dan kecurigaan dalam penanganan dan penyelesaian masalah hukum itu, maka segera dilaporkan ke bagian internal yang meluruskan dugaan penyimpangan dan institusi yang mengawasi penegakan hukum di kepolisian," katanya.
Sebelumnya, dua tersangka WNA asal India yakni Abdul Samad dan Samsu Hussain, yang terlibat dalam kasus penggelapan dana perusahaan besar asal Arab Saudi, dibebaskan oleh penegak hukum.
Keduanya dilaporkan pada 2022 lalu lantaran membuat dan menggunakan surat palsu dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) sehingga perusahaan harus membayar tagihan sebesar Rp17 miliar.
Ulah keduanya menyebabkan perusahaan asing yang berinvestasi di Indonesia sejak 2012 itu harus mengalami kerugian hingga mencapai sekitar 62 juta dolar AS.
Namun, dua tersangka WNA asal India tersebut dibebaskan melalui mekanisme perdamaian restorative justice di tahun 2023, tanpa sepengetahuan dan keterlibatan pemilik perusahaan.
Pemilik perusahaan menduga penghentian perkara tersebut karena adanya permainan oknum penegak hukum dengan pihak tertentu