Merespons Tarif Trump: Saatnya Indonesia tangguh dan strategis

id tarif trump, donald trump, ekonomi global, kebijakan tarif trump, rycko menoza Oleh Rycko Menoza SZP, MBA, Anggota Komisi VII DPR RI*)

Merespons Tarif Trump: Saatnya Indonesia tangguh dan strategis

Anggota DPR RI Rycko Menoza, MBA (ANTARA/HO-Istimewa)

Bandarlampung (ANTARA) - Kebijakan tarif tinggi yang diberlakukan oleh Pemerintah Amerika Serikat terhadap berbagai produk industri padat karya asal Indonesia—mulai dari tekstil, alas kaki, furnitur, hingga turunan kelapa sawit—bukan sekadar soal bea masuk.

Hal ini merupakan sinyal kuat kembalinya proteksionisme global yang semakin terbuka, terutama di tengah menguatnya kembali figur Donald Trump di panggung politik Amerika. Hasil kebijakan Trump tersebut bukan hanya tantangan bagi pelaku usaha, tetapi juga ujian bagi ketahanan dan kecerdasan kebijakan industri nasional kita.

Industrialisasi padat karya selama ini menjadi tulang punggung penyerapan tenaga kerja Indonesia dan tumpuan utama ekspor non-migas. Tarif tinggi yang diberlakukan secara sepihak oleh negara mitra dagang utama seperti AS tentu menimbulkan risiko guncangan bagi jutaan pekerja dan pelaku UMKM yang tergabung dalam rantai pasok industri tersebut. Dalam situasi ini, Indonesia tidak bisa hanya menanggapi dengan diplomasi normatif.

Dibutuhkan langkah-langkah yang tak hanya reaktif, tetapi juga strategis, resiliens, dan berjangka panjang.

Langkah balasan atau reprisokal dapat dipertimbangkan secara selektif. Namun cara tersebut bukan tentang membalas dendam dagang. Tindakan itu adalah tentang menunjukkan bahwa Indonesia memiliki keberanian untuk menegakkan posisi tawarnya di tengah arus perdagangan global yang makin tidak menentu.

Sikap negosiasi diperlukan, tapi tidak boleh menjadi satu-satunya pendekatan. Justru di sinilah kita harus menempuh jalan yang lebih strategis dan tahan lama.

Pertama, Indonesia perlu mempercepat diversifikasi pasar ekspor.

Ketergantungan pada pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa menciptakan kerentanan struktural. Pasar Asia Selatan, Timur Tengah, Afrika, dan Amerika Latin menawarkan peluang besar yang selama ini belum sepenuhnya dimanfaatkan.

Pemerintah harus mendorong perluasan perjanjian dagang dan membuka akses logistik yang mendukung ekspansi ke wilayah tersebut.

Kedua, hilirisasi industri padat karya harus menjadi agenda prioritas nasional. Tidak cukup hanya fokus pada kelapa sawit. Industri tekstil, alas kaki, furnitur, hingga agroindustri lain seperti kopi, kakao, dan perikanan juga perlu diarahkan untuk menghasilkan produk dengan nilai tambah tinggi.

Ekspor bahan mentah dan setengah jadi membuat Indonesia rawan terhadap fluktuasi harga dan kebijakan proteksionis negara maju. Investasi dalam riset, desain, dan teknologi produksi perlu diperluas agar industri padat karya kita naik kelas dan mampu bersaing secara global.

Ketiga, reformasi internal melalui deregulasi selektif menjadi sangat penting. Banyak hambatan justru berasal dari dalam negeri—dari tumpang tindih perizinan hingga beban pungutan yang tidak sinkron. Pemerintah harus memangkas kompleksitas birokrasi dan menyederhanakan ekosistem usaha agar pelaku industri tidak kehilangan daya saing sebelum masuk pasar ekspor.

Keempat, diplomasi ekonomi Indonesia harus lebih aktif dan terkoordinasi. Di forum multilateral seperti WTO, G20, maupun ASEAN, posisi Indonesia harus diperkuat untuk menantang praktik diskriminatif yang sering dibungkus isu lingkungan atau sosial. Di saat yang sama, mekanisme trade remedies seperti anti-dumping dan safeguards perlu diperkuat untuk melindungi industri dalam negeri dengan cara yang sah dan berbasis aturan.

Kelima, Indonesia harus memperkuat citra dan reputasi produk nasional melalui diplomasi publik dan kampanye branding global. Baik produk sawit, tekstil, maupun furnitur, semua memiliki potensi untuk menjadi ikon keberlanjutan dan inklusivitas. Namun citra ini tidak akan terbentuk tanpa strategi komunikasi internasional yang sistematis dan konsisten.

Keenam, semua langkah di atas perlu dibingkai dalam satu kerangka kebijakan tarif nasional yang berpihak pada strategi industri jangka panjang. Tarif tidak boleh hanya menjadi alat fiskal jangka pendek, melainkan instrumen transformasi ekonomi. RI butuh tarif yang melindungi secara cerdas—untuk mendorong investasi, inovasi, dan penciptaan lapangan kerja.

Kebijakan Tarif Trump adalah sinyal keras bahwa era kompetisi lunak telah berlalu. Perang tarif adalah ujian atas ketangguhan, kedaulatan, dan arah visi ekonomi kita.

Indonesia harus menjawabnya bukan hanya dengan reaksi, tetapi dengan strategi. Saat negara lain menutup diri, kita justru harus memperkuat dari dalam. Bukan untuk bertahan, tetapi untuk melompat lebih jauh dan berdiri sejajar dalam lanskap ekonomi global yang baru.