Jakarta (ANTARA) - Pengamat manajemen kesehatan lulusan Universitas Airlangga, dr. Puspita Wijayanti, menyebutkan kasus kekerasan seksual di RSHS Bandung menggarisbawahi perlunya solusi atas ambiguitas status peserta PPDS, antara sebagai peserta didik dan fungsinya sebagai tenaga pelayanan.
Dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis, Puspita menyebutkan bahwa secara hukum peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) adalah peserta pendidikan klinik lanjutan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan Permenkes No. 51 Tahun 2018 tentang Rumah Sakit Pendidikan.
Menurut dia, mereka masuk ke rumah sakit bukan sebagai pegawai tetap, melainkan untuk menjalani rotasi pembelajaran praktik profesional.
"Namun dalam praktiknya, peserta PPDS bekerja layaknya tenaga medis penuh; memegang wewenang klinis, mengakses data pasien, melayani di IGD, bahkan memutuskan tindakan, yang terkadang tanpa supervisi yang layak," katanya.
Dia menilai, ketika peserta didik diberi beban dan akses pelayanan, tapi tidak diletakkan dalam sistem otorisasi dan pengawasan yang ketat, maka lahirlah ruang gelap tanggung jawab klinis. Mereka tidak memiliki status hukum dan perlindungan sebagai pegawai, tetapi menjalankan fungsi pelayanan kritis layaknya dokter definitif.
Dalam sistem rumah sakit pendidikan yang sehat, katanya, posisi peserta didik harus terintegrasi dalam sistem sumber daya manusia sebagai tenaga terbimbing, bukan dibiarkan sebagai entitas asing dalam struktur pelayanan. Jika mereka melayani pasien, ujarnya, maka setiap tindakan harus berada dalam kerangka supervisi formal, dengan struktur pelaporan, batasan klinis, dan sistem logbook yang diawasi.
"Tanpa itu, bukan hanya peserta yang rentan, tapi juga pasien, rumah sakit, dan integritas pelayanan publik," ujar Puspita menambahkan.
Dia menuturkan, Standar Akreditasi Rumah Sakit yang tertuang dalam KMK No. HK.01.07/MENKES/1596/2024 mewajibkan bahwa setiap tenaga yang berpartisipasi dalam pelayanan rumah sakit, termasuk peserta didik, harus memiliki kejelasan peran, kualifikasi, dan supervisi. Ketika sistem membiarkan mereka bekerja tanpa skema otorisasi resmi, maka manajemen rumah sakit tidak hanya lalai, tapi juga membuka potensi pelanggaran etik, medis, dan hukum.
"Dengan melihat kasus ini, sudah saatnya Kementerian Kesehatan dan institusi pendidikan kedokteran menyusun ulang sistem tata kelola peserta didik dalam RS pendidikan," katanya.
Hal tersebut, katanya, dapat dilakukan seperti dengan menempatkan mereka secara eksplisit dalam sistem SDM rumah sakit, dengan struktur supervisi dan evaluasi yang terdokumentasi, serta membedakan hak akses fasilitas dan otorisasi tindakan berdasarkan level rotasi dan kompetensi yang terverifikasi.
"Mewajibkan pelaporan berkala lintas fungsi, antara institusi pendidikan dan manajemen rumah sakit, bukan hanya akademik," katanya.