Polri punya sistem pengawasan cegah jual beli restorative justice

id program restorative justice, keadilan restoratif, jual-beli restorative justice, mabes polri, kadiv humas polri, irjen d

Polri punya sistem pengawasan cegah jual beli restorative justice

Sejumlah pemuda pelaku tawuran dan balap liar mengambil wudhu di Masjid Katangka untuk diberikan bimbingan kesadaran saat proses pemberian bebas bersyarat restorative justice (RJ) usai ditahan di Polsek Rappocini, Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA/HO/Dokumentasi Polsek Rappocini.

Kalau ada pelanggaran, maka penyidik yang melanggar kode etik bisa diproses, kalau terbukti pidana juga diproses, katanya

Jakarta (ANTARA) - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan pihaknya mempunyai sistem pengawasan terhadap jajarannya dalam mencegah praktik jual beli penyelesaian perkara melalui program "Restorative Justice".

"Sudah ada Dumas dan Propam Presisi, masyarakat bisa langsung mengadu secara online dan ditindaklanjuti," kata Dedi kepada ANTARA saat dikonfirmasi di Jakarta, Rabu.

Dumas atau pengaduan masyarakat merupakan layanan kepolisian yang dimiliki Polri untuk mengakomodir aduan masyarakat terkait kepolisian.

Polri meluncurkan aplikasi Dumas Presisi pada September 2021, bertujuan untuk menyampaikan pengaduan pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri.

Layanan pengaduan tersebut bisa langsung diakses oleh masyarakat 24 jam, di mana saja, tanpa perlu datang ke kantor polisi terdekat. Aplikasi Dumas Presisi bisa diunduh melalui Playstore.

Begitu pula bagi masyarakat yang mengetahui tindakan polisi melanggar hukum dapat melapor lewat aplikasi Propam Presisi.

Lahirnya kedua aplikasi ini agar kerja polisi dapat diawasi tidak hanya secara internal, tetapi juga secara eksternal. Sesuai dengan era keterbukaan saat ini.

Dugaan praktik jual beli 'restorative justice' ni diungkapkan oleh Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PKS Adang Daradjatun dalam rapat bersama Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK), di Gedung Parlemen, Senin (16/1).

Menanggapi hal itu, Dedi menjelaskan program Restorative Justice atau pengampunan karena alasan subjektif hukum tersebut memiliki aturan, sehingga ada ketentuan-ketentuan yang wajib dipenuhi dalam penyelesaian perkara lewat keadilan restoratif.

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Kapolri (Perkap) Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Perpol Nomor 8 Tahun 2021 tentang restorative justice.

Perpol 8 Tahun 2021 ini mengatur tentang penanganan tindak pidana berdasarkan keadilan restoratif, yang akan digunakan sebagai acuan dasar penyelesaian perkara dalam proses penyelidikan dan penyidikan tindak pidana guna dapat memberikan kepastian hukum, sebagaimana diatur tentang penghentian penyelidikan (SPP-lidik) dan penghentian penyidikan (SP3) dengan alasan demi hukum berdasarkan keadilan restoratif.

"Aturan itu yang menjadi dasar penyidik," katanya.

Dia menegaskan, apabila ada anggota Polri yang melakukan tindakan melanggar aturan tersebut atau melakukan praktik jual beli restorative justice merupakan pelanggaran etik yang dapat diproses dan ada sanksi tegas yang menanti.

"Kalau ada pelanggaran, maka penyidik yang melanggar kode etik bisa diproses, kalau terbukti pidana juga diproses. Sudah jelas dan setiap pelanggaran yang terbukti akan ditindak tegas," kata Dedi menegaskan.

Pada tahun 2022 penyelesaian perkara melalui keadilan restoratif di kepolisian mengalami peningkatan sebesar 1.672 perkara atau 11,8 persen, yakni 15.809 pekara di tahun 2022, dan 14.137 perkara di tahun 2021.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo dalam rilis akhir tahun, Sabtu (31/12) lalu, menyebut restorative justice yang dilakukan Polri bagian dari upaya untuk mewujudkan rasa keadilan masyarakat, sehingga tidak terulang lagi kasus seperti Nenek Minah, pencuri kakao.

"Kami melihat dari hasil survei, masyarakat rata-rata memang menginginkan terhadap kasus-kasus tertentu diselesaikan dengan restorative justice,” kata Sigit.