Mantan Bupati Aceh Tamiang dituntut 7 tahun 6 bulan penjara
Keuntungan dari penguasaan tanah negara yang dijadikan perkebunan sawit tersebut menyebabkan kerugian perekonomian negara mencapai Rp7,9 miliar dan Rp5,4 miliar, kata JPU
Banda Aceh (ANTARA) - Jaksa penuntut umum menuntut mantan Bupati Aceh Tamiang Musril yang menjadi terdakwa perkara tindak pidana korupsi pertanahan dengan hukuman penjara selama 7 tahun 6 bulan.
Tuntutan tersebut dibacakan JPU Agussalim Harahap dan kawan-kawan dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Provinsi Aceh, Kamis.
Pada sidang yang dipimpin Hakim Ketua Hamzah Sulaiman dengan didampingi R. Deddy dan Ani Hartati sebagai hakim anggota, terdakwa Mursil yang menjabat Bupati Aceh Tamiang periode 2017 hingga 2022 hadir ke persidangan didampingi tim penasihat hukumnya.
Selain pidana penjara, JPU menuntut terdakwa Mursil membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp90 juta. Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti kerugian negara maka dipidana 3 tahun 6 bulan penjara.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan terdakwa Mursil saat menjabat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang pada 2009 menerbitkan sertifikat tanah eks hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit PT Desa Jaya. Izin HGU tersebut berakhir pada 1988 dan tidak pernah diperpanjang hingga sekarang.
"Artinya, tanah HGU tersebut merupakan tanah negara. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut dengan nilai Rp6,4 miliar," kata JPU.
Berdasarkan fakta di persidangan, terdakwa menerima uang Rp90 juta dari saksi Tengku Rusli yang juga dituntut dalam berkas perkara terpisah untuk penerbitan enam sertifikat tanah di lahan eks HGU tersebut.
"Atas perbuatannya, terdakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata JPU.
Selain menuntut terdakwa Mursil, JPU juga menuntut dua orang terdakwa lainnya dalam perkara yang sama, yakni Tengku Yusni dengan hukuman 10 tahun 6 bulan penjara dan terdakwa Tengku Rusli dengan hukuman 9 tahun 6 bulan penjara.
Selain pidana penjara, JPU juga menuntut terdakwa Tengku Yusni membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara serta membayar uang pengganti kerugian perekonomian negara Rp7,9 miliar. Apabila tidak membayar maka dipidana 5 tahun 3 bulan penjara.
Sedangkan untuk terdakwa Tengku Rusli, JPU menuntutnya membayar denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara serta uang pengganti kerugian negara Rp5,4 miliar. Apabila terdakwa tidak membayar maka dipidana 4 tahun 9 bulan.
Berdasarkan fakta di persidangan, kata JPU, kedua terdakwa menguasai tanah negara yang izin HGU sudah berakhir sejak 1988. Luas lahan eks HGU tersebut masing-masing lahan pertama mencapai luas 885,65 hektare dan lahan kedua seluas 1.658 hektare. Kedua lahan tersebut berada di Kabupaten Aceh Tamiang.
"Keuntungan dari penguasaan tanah negara yang dijadikan perkebunan sawit tersebut menyebabkan kerugian perekonomian negara mencapai Rp7,9 miliar dan Rp5,4 miliar," kata JPU.
Usai mendengar tuntutan JPU, majelis hakim melanjutkan persidangan hingga pekan depan dengan agenda mendengarkan nota pembelaan para terdakwa.
Tuntutan tersebut dibacakan JPU Agussalim Harahap dan kawan-kawan dari Kejaksaan Negeri Aceh Tamiang saat sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Banda Aceh, Provinsi Aceh, Kamis.
Pada sidang yang dipimpin Hakim Ketua Hamzah Sulaiman dengan didampingi R. Deddy dan Ani Hartati sebagai hakim anggota, terdakwa Mursil yang menjabat Bupati Aceh Tamiang periode 2017 hingga 2022 hadir ke persidangan didampingi tim penasihat hukumnya.
Selain pidana penjara, JPU menuntut terdakwa Mursil membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara serta membayar uang pengganti kerugian negara Rp90 juta. Apabila terdakwa tidak membayar uang pengganti kerugian negara maka dipidana 3 tahun 6 bulan penjara.
Dalam tuntutannya, JPU menyatakan terdakwa Mursil saat menjabat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Aceh Tamiang pada 2009 menerbitkan sertifikat tanah eks hak guna usaha (HGU) perkebunan sawit PT Desa Jaya. Izin HGU tersebut berakhir pada 1988 dan tidak pernah diperpanjang hingga sekarang.
"Artinya, tanah HGU tersebut merupakan tanah negara. Selang beberapa waktu kemudian, Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang melakukan ganti rugi atas tanah tersebut dengan nilai Rp6,4 miliar," kata JPU.
Berdasarkan fakta di persidangan, terdakwa menerima uang Rp90 juta dari saksi Tengku Rusli yang juga dituntut dalam berkas perkara terpisah untuk penerbitan enam sertifikat tanah di lahan eks HGU tersebut.
"Atas perbuatannya, terdakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi," kata JPU.
Selain menuntut terdakwa Mursil, JPU juga menuntut dua orang terdakwa lainnya dalam perkara yang sama, yakni Tengku Yusni dengan hukuman 10 tahun 6 bulan penjara dan terdakwa Tengku Rusli dengan hukuman 9 tahun 6 bulan penjara.
Selain pidana penjara, JPU juga menuntut terdakwa Tengku Yusni membayar denda Rp500 juta subsider 6 bulan penjara serta membayar uang pengganti kerugian perekonomian negara Rp7,9 miliar. Apabila tidak membayar maka dipidana 5 tahun 3 bulan penjara.
Sedangkan untuk terdakwa Tengku Rusli, JPU menuntutnya membayar denda Rp500 juta subsider enam bulan penjara serta uang pengganti kerugian negara Rp5,4 miliar. Apabila terdakwa tidak membayar maka dipidana 4 tahun 9 bulan.
Berdasarkan fakta di persidangan, kata JPU, kedua terdakwa menguasai tanah negara yang izin HGU sudah berakhir sejak 1988. Luas lahan eks HGU tersebut masing-masing lahan pertama mencapai luas 885,65 hektare dan lahan kedua seluas 1.658 hektare. Kedua lahan tersebut berada di Kabupaten Aceh Tamiang.
"Keuntungan dari penguasaan tanah negara yang dijadikan perkebunan sawit tersebut menyebabkan kerugian perekonomian negara mencapai Rp7,9 miliar dan Rp5,4 miliar," kata JPU.
Usai mendengar tuntutan JPU, majelis hakim melanjutkan persidangan hingga pekan depan dengan agenda mendengarkan nota pembelaan para terdakwa.