Mengulik sejarah di kota tambang Sawahlunto Sumbar

id kota sawahlunto,wisata sawahlunto,tambang ombilin sawahlunto

Mengulik sejarah di kota tambang Sawahlunto Sumbar

Gedung kantor PT Bukit Asam yang dibangun pada 1916 di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (30/10/2019). (ANTARA/Prisca Triferna)

Pemerintah Kolonial Belanda yang menemukan dan kemudian mengusahakan pertambangan batu bara di Sawahlunto membangun infrastruktur daerah tersebut dengan tenaga kerja paksa atau orang rantai dan tenaga kontrak dari berbagai suku bangsa.

Jakarta (ANTARA) - Pertambangan batu bara membuat Sawahlunto di Sumatera Barat berkembang menjadi kota dan bagian dari sejarah pertambangan di daerah itu kini diakui sebagai warisan budaya dunia.

Kawasan tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto pada 6 Juli 2019 ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO).

Pemerintah Kolonial Belanda yang menemukan dan kemudian mengusahakan pertambangan batu bara di Sawahlunto membangun infrastruktur daerah tersebut dengan tenaga kerja paksa atau orang rantai dan tenaga kontrak dari berbagai suku bangsa.

Daerah yang berada di area Bukit Barisan itu kemudian tumbuh dan berkembang, dan diresmikan menjadi kota pada 1 Desember 1888. Hingga kini tanggal 1 Desember diperingati sebagai hari lahir kota.

Tambang Ombilin di Sawahlunto sudah beberapa kali berganti pemilik. Tambang yang semula dikuasai oleh Belanda berpindah ke tangan Jepang sejak 1942 sampai 1945. Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan, tambang di kota berjuluk "Little Dutch" atau Belanda Kecil itu berada di bawah kepemimpinan administratif Indonesia.
Baca juga: Tambang Ombilin terima sertifikat UNESCO sebagai warisan dunia

Semula tambang batu bara Ombilin berada di bawah Direktorat Pertambangan, namun kemudian tanggung jawab pengelolaannya dipegang oleh badan usaha milik negara Bukit Asam.

Kegiatan pertambangan sudah diakhiri beberapa tahun lalu. Sawahlunto kini bertransformasi menjadi kota tua yang menawarkan wisata sejarah dengan berbagai bangunan era kolonial.

Kantor PT Bukit Asam yang dibangun pada 1916 serta gedung Museum Gudang Ransum dan Museum Kereta Api Sawahlunto menyuguhkan informasi seputar cikal bakal dan sejarah perkembangan kota pemilik tambang batu bara tertua di Asia Tenggara itu.

Selain itu, ada Lubang Mbah Suro, bekas tambang batu bara Belanda yang namanya diambil dari nama mandor pekerja paksa zaman Belanda yang konon dikenal sebagai Mbah Suro.
Baca juga: Sumbar jangan kehilangan momentum Ombilin Warisan Budaya Dunia

Sawahlunto juga punya beberapa situs yang memperlihatkan kecanggihan teknologi pertambangan kolonial, termasuk di antaranya silo tempat penyimpanan batu bara yang berada tidak jauh dari Museum Kereta Api Sawahlunto.

Menurut staf Dinas Kebudayaan, Peninggalan Bersejarah, dan Permuseuman Kota Sawahlunto Dedi Yolson, kedekatan antara silo dan museum itu bukan tanpa alasan.

Museum itu dulunya adalah stasiun kereta api yang menjadi titik pertama pengangkutan hasil tambang untuk dibawa ke pelabuhan di Kota Padang.

"Dari silo itu, di sana nanti keretanya melewati stasiun ini (Sawahlunto) lalu akan menuju ke Muarakalaban lewat terowongan dari situ melewati berbagai stasiun hingga sampai ke Emmahaven," kata Dedi merujuk kepada nama lama dari Pelabuhan Teluk Bayur di Kota Padang.

Model lokomotif Mak Itam di Museum Kereta Api Sawahlunto di Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, Rabu (30/10/2019). (ANTARA/Prisca Triferna)

Mak Itam

Ketika Tambang Batubara Ombilin di Sawahlunto resmi menjadi warisan dunia UNESCO, tidak hanya Kota Sawahlunto yang mendapatkan sertifikat dari badan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Enam kota dan kabupaten lain yang dilewati kereta pengangkut batu bara juga mendapatkannya.

Mak Itam, lokomotif uap legendaris yang membawa gerbong berisi batu bara, semasa beroperasi melewati wilayah Kabupaten Solok, Kota Solok, Kabupaten Tanah Datar, Kota Padang Panjang, Kabupaten Padang Pariaman, dan Kota Padang.

Masyarakat Minangkabau memberikan julukan Mak Itam atau Paman Hitam pada lokomotif keluaran Eropa dengan nomor seri E1060 yang digunakan untuk mengangkut batu bara sejak kemerdekaan Indonesia tahun 1945 itu karena badannya berwarna hitam dan mengeluarkan asap pekat.

Mak Itam mengangkut batu bara pada era kejayaan produksi batu bara Sawahlunto, yang tahun 1970-an dapat memproduksi sejuta ton batu bara per tahun.

Wisatawan yang tertarik menyusuri perjalanan Mak Itam dapat memulai penyusuran dari Museum Kereta Api Sawahlunto melewati terowongan Lembah Kalam menuju Stasiun Muarakalaban, yang masih masuk dalam wilayah administratif Kota Sawahlunto.

Dari sana, setelah melewati Solok wisatawan bisa menyusuri Danau Singkarak yang indah untuk menuju Stasiun Batu Tabal di Kabupaten Tanah Datar lalu melanjutkan perjalanan ke Stasiun Kayu Tanam di Kabupaten Padang Pariaman.

Jembatan kereta api yang masih kokoh berdiri di Kota Padang Panjang dan keindahan alam Lembah Anai bisa dinikmati selama perjalanan.

Sesampainya di Teluk Bayur, Kota Padang, ada situs yang menjadi warisan dunia UNESCO karena kaitannya dengan Tambang Ombilin Sawahlunto, yaitu situs Silo Gunung yang berada di dekat Pelabuhan Teluk Bayur.

Bekas gudang penampungan batu bara yang bangunannya belum sepenuhnya dipugar itu akan menjadi bagian tak terpisahkan dari wisata sejarah Kota Padang.

Revitalisasi infrastruktur

Meski memiliki berbagai keunikan baik dari sisi sejarah maupun keindahan, infrastruktur pendukung kegiatan pariwisata masih kurang memadai di Kota Sawahlunto. Hanya ada sedikit hotel dan penginapan yang dikelola warga di kota itu.

Pilihan sarana transportasi umum untuk mencapai Kota Sawahlunto dan beberapa kota yang dilalui oleh Mak Itam masih terbatas, yang ada baru bus elf.

Jika ingin nyaman, wisatawan saat ini harus menyewa mobil dari bandara atau Kota Padang karena perjalanan dari Padang ke Sawahlunto dapat menghabiskan waktu sekitar 2,5 jam.

Menyadari keterbatasan itu, Gubernur Sumatera Barat Iwan Prayitno mendorong pemerintah daerah yang terkait dengan Tambang Ombilin Sawahlunto bekerja lebih keras untuk memperbaiki sarana dan prasarana pendukung pariwisata.

"Kita manfaatkan, tinggal kita jadikan momentum untuk mendatangkan wisatawan. Itu harus kita siapkan semuanya," kata Iwan ketika menerima sertifikat UNESCO di Auditorium Kantor Gubernur Sumatera Barat di Padang pada 29 Oktober.