Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Bidang Hukum Universitas Padjadjaran Romli Atmasasmita menilai vonis banding terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin dan Helena Lim selaku Manajer PT Quantum Skyline Exchange dalam kasus timah tidak proporsional.
Sebab, kata dia, Harvey bukan merupakan penyelenggara negara maupun direksi PT Timah Tbk., sedangkan Helena hanya berperan sebagai pengusaha layanan penukaran uang.
"Helena dan Harvey sama sekali tidak memiliki mens rea (niat jahat) untuk menimbulkan kerugian keuangan negara sebesar Rp300 triliun," nilai Romli dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat.
Menurut dia, kerugian tersebut hanya berdasarkan perkiraan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Keuangan Negara, UU Perbendaharaan Negara, dan UU Pemeriksaan Pengelolaan Keuangan Negara.
Di sisi lain, sambung dia, penilaian terhadap Harvey sebagai aktor intelektual dalam kasus tersebut juga keliru lantaran Harvey hanya terlibat dalam kontrak sewa smelter dan kontrak kerja dengan penduduk sekitar tambang, yang notabene bukan penambang liar, melainkan warisan turun-temurun.
"Harvey dijerat pasal penyertaan (Pasal 55 KUHP), padahal ia tidak memiliki peran sebagai aktor intelektual," kata salah satu perancang Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) tersebut.
Selain itu, dia menambahkan bahwa dakwaan pemufakatan jahat antara Harvey dengan terdakwa lain juga tidak terbukti selama persidangan, sehingga dakwaan tindak pidana korupsi dalam kasus korupsi timah, secara normatif berdasarkan UU Nomor 31 Tahun 1999, bukanlah tindak pidana korupsi.
Apalagi, Romli menyebutkan bahwa pelanggaran terhadap UU Pertambangan tidak secara tegas diatur sebagai tindak pidana korupsi.
Sementara itu, Pakar Bidang Studi Hukum Acara Fakultas Hukum Universitas Indonesia Yoni Agus Setyono berpendapat kasus tersebut seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, bukan pidana korupsi.
Yoni menjelaskan jika tujuannya untuk mengembalikan kerugian negara atas dampak lingkungan yang ditimbulkan dari tata niaga timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah, jalur perdata lebih memungkinkan. Terlebih, jika nilai kerugian negara masih belum jelas dan masih diperdebatkan.
"Kalau kerugiannya belum jelas, mengapa dibawa ke pidana korupsi? Ini keliru karena kerugian negara dalam kasus ini masih diperdebatkan, sehingga penyelesaian yang tepat melalui gugatan perdata, bukan tipikor," ujar Yoni.
Dia mengatakan dengan jalur perdata, benang kusut kasus timah dapat diurai hingga menemukan pihak yang seharusnya bertanggung jawab atas kerugian lingkungan yang timbul atas aktivitas pertambangan itu.
Dirinya membeberkan, gugatan perdata bisa melibatkan semua pihak, baik pemilik lama (perusahaan) maupun baru. Dengan demikian, menurutnya, cara tersebut lebih adil dan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Ia pun menyarankan agar upaya hukum lanjutan bisa dilakukan melalui Mahkamah Agung (MA) karena MA masih bisa membatalkan putusan banding jika melihat secara utuh dari memori kasasi.
"Jika pelanggarannya lebih kepada lingkungan hidup, maka harus dilihat berdasarkan UU Lingkungan Hidup, bukan UU Tipikor," ucap dia.