Kejagung setujui penghentian kasus penganiyaan di Sulbar dengan keadilan restaoratif
Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar; terang Didik Istiyanta
Mamuju (ANTARA) - Dua perkara tindak pidana penganiayaan dari Kejaksaan Tinggi Provinsi Sulawesi Barat diselesaikan melalui "restorative justice" atau keadilan restoratif dan telah mendapatkan persetujuan penghentian penuntutan dari Kejaksaan Agung (Kejagung)
"Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) telah menyetujui permohonan penghentian penuntutan dua perkara, berdasarkan keadilan restoratif dari Kejati Sulbar," kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Provinsi Sulbar Didik Istiyanta, Rabu.
Hal itu disampaikan Kajati Sulbar pada ekspose perkara yang diusulkan Kejati Sulbar untuk penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang berlangsung di tenda Kantor Kejati Sulbar, di Mamuju.
Kegiatan itu dihadiri Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulbar Agustin, Asisten Tindak Pidana Umum Baharuddin, Koordinator Pidum B Hermanto, Koordinator Intelijen Agus Alam, Kepala Seksi Oharda Andi Sumardi, Kepala Seksi Penerangan Hukum Amiruddin, Kajari Mamuju dan Kajari Polewali Mandar serta para Kasi Pidum dan Penuntut Umum.
Baca juga: Kasus pencurian mesin perahu tempel di Aceh diselesaikan dengan keadilan restoratif
Kegiatan itu juga diikuti secara daring oleh Jampidum Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani dan Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum.
Dua berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif pada Kejati Sulbar, adalah kasus dengan tersangka Muhammad Amin alias Aso dari Kejaksaan Negeri Mamuju yang disangkakan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kemudian, kasus dengan tersangka Hapidun alias Pidun dan kawan-kawan dari Kejaksaan Negeri Polewali Mandar yang disangkakan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif diberikan kata Kajati, para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun.
Baca juga: Jaksa Agung: Keadilan restoratif atasi kekakuan hukum positif
Kemudian lanjutnya, telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf dan tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
"Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi," tuturnya.
"Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;" terang Didik Istiyanta.
Sedangkan pertimbangan sosiologis masyarakat merespon positif keadilan restoratif sehingga Jampidum memerintahkan Kajari Mamuju dan Kajari Polewali Mandar untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2)
"Hal itu sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai perwujudan kepastian hukum," beber Didik Istiyanta.
"Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (Jampidum) telah menyetujui permohonan penghentian penuntutan dua perkara, berdasarkan keadilan restoratif dari Kejati Sulbar," kata Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Provinsi Sulbar Didik Istiyanta, Rabu.
Hal itu disampaikan Kajati Sulbar pada ekspose perkara yang diusulkan Kejati Sulbar untuk penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif yang berlangsung di tenda Kantor Kejati Sulbar, di Mamuju.
Kegiatan itu dihadiri Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Sulbar Agustin, Asisten Tindak Pidana Umum Baharuddin, Koordinator Pidum B Hermanto, Koordinator Intelijen Agus Alam, Kepala Seksi Oharda Andi Sumardi, Kepala Seksi Penerangan Hukum Amiruddin, Kajari Mamuju dan Kajari Polewali Mandar serta para Kasi Pidum dan Penuntut Umum.
Baca juga: Kasus pencurian mesin perahu tempel di Aceh diselesaikan dengan keadilan restoratif
Kegiatan itu juga diikuti secara daring oleh Jampidum Fadil Zumhana, Direktur Tindak Pidana Terhadap Orang dan Harta Benda Agnes Triani dan Koordinator pada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum.
Dua berkas perkara yang dihentikan penuntutannya berdasarkan keadilan restoratif pada Kejati Sulbar, adalah kasus dengan tersangka Muhammad Amin alias Aso dari Kejaksaan Negeri Mamuju yang disangkakan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Kemudian, kasus dengan tersangka Hapidun alias Pidun dan kawan-kawan dari Kejaksaan Negeri Polewali Mandar yang disangkakan melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan.
Alasan pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif diberikan kata Kajati, para tersangka baru pertama kali melakukan perbuatan pidana/belum pernah dihukum dan ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun.
Baca juga: Jaksa Agung: Keadilan restoratif atasi kekakuan hukum positif
Kemudian lanjutnya, telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memberikan permohonan maaf dan tersangka berjanji tidak akan lagi mengulangi perbuatannya;
"Proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi," tuturnya.
"Tersangka dan korban setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar;" terang Didik Istiyanta.
Sedangkan pertimbangan sosiologis masyarakat merespon positif keadilan restoratif sehingga Jampidum memerintahkan Kajari Mamuju dan Kajari Polewali Mandar untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2)
"Hal itu sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 tahun 2020 dan Surat Edaran Jampidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif, sebagai perwujudan kepastian hukum," beber Didik Istiyanta.