Jakarta (ANTARA) - Komite Ekonomi Industri Nasional (KEIN) meminta Bank Indonesia untuk mengatur saldo mengendap uang elektronik karena menghambat pengembangan bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang dilakukan pengusaha di level bawah.
"Itu yang harus diatur negara, terutama dalam konteks ini oleh Bank Sentral karena basis pendapatan UMKM adalah harian, sementara basis pengeluarannya juga harian," kata Wakil Ketua KEIN Arif Budimanta di Jakarta, Kamis.
"Saya lihat sendiri terjadi di Bali, kadang-kadang tidak realtime," tambahnya.
Penggunaan uang elektronik berbasis server seperti GoPay, Ovo dan sejenisnya saat ini semakin diminati masyarakat karena praktis. Uang elektronik itu tidak langsung masuk ke rekening penjual melainkan ditabung oleh perusahaan jasa uang elektronik maupun bank.
Menurut Arif, pengendapan saldo uang elektronik itu tidak adil karena membuat bisnis UMKM mengalami hambatan akibat modal usaha yang terbatas.
"Detik itu juga harus masuk ke rekening pedagang, karena uang kita pindah detik itu. Kalau tidak realtime misalnya dua hari kemudian dana itu masuk, sementara kita transfer hari ini, menurut saya itu tidak adil," ujarnya.
Dengan era revolusi industri 4.0 yang berbasis digital, lanjut Arif, transaksi online sangat membantu namun pemerintah harus hadir untuk mengatur dan mengawasi transaksi elektronik tersebut agar tidak merugikan pedagang kecil yang menjalankan bisnis harian.
"Jangan ada waktu pengendapan karena kita bayarnya seketika pemindahan uang itu, ketika masuk ke pedagang itu juga seketika. Ini yang harus diatur," tandas Arief.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 20 Tahun 2018, uang elektronik di Indonesia dibagi menjadi dua yakni uang elektronik berbasis chip yang berbentuk kartu seperti e-money, flazz, dan brizzi. Adapun jenis kedua yaitu uang elektronik berbasis server yang biasanya berbentuk aplikasi seperti GoPay, Ovo hingga LinkAja.