Lampung Timur (ANTARA Lampung) - Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Henry Yosodiningrat minta polisi menyampaikan permintaan maaf apabila tuduhan sejumlah warga Lampung Timur di Tangerang dan Bogor tidak terbukti sebagai pelaku begal.
"Polisi harus mengklarifikasi atau membersihkan nama baik korban dan keluarga terutama Kampung Gunung Sugih Besar yang telah diberikan stigma daerah begal," katanya di Lampung Timur saat dihubungi dari Bandarlampung, Kamis.
Menurut dia, hal tersebut tidak beralasan karena meskipun ada, tapi dipastikan tidak semua warga berprofesi sebagai pelaku kejahatan terutama kejahatan pembegalan sepeda motor.
"Ini tidak bisa dibiarkan, kita pahami lagi sebutan tersebut, misalkan saja di wilayah Pasar Baru ada pencopet dari suku atau etnis tertentu, apakah bisa dikatakan etnis dan suku itu seluruhnya pencopet," ujar politisi PDI Perjuangan itu.
Stigma kampung begal di Lampung juga sangat berlebihan karena pelaku-pelaku kejahatan di luar wilayah ini hanya beberapa orang saja.
Terkait proses penangkapan sekitar 19 warga Lampung Timur di Tangerang dan Bogor 1 Februari 2015, Henry menegaskan tidak menggunakan SOP atau prosedur yang benar.
"Dalam setiap penangkapan untuk pengembangan kasus atau penahanan target operasi selalu ada izin atas kegiatan tersebut, bahkan pihak keluarga turut diberi informasi terkait penahanan tersebut," katanya.
Tidak seperti yang dikeluhkan oleh warga Gunung Sugih Besar, baru mengetahui keadaan keluarganya setelah dibebaskan dan menjemput korban telah meninggal dunia di RS Serpong, ujar Henry.
"Saya akan tindaklanjuti kasus ini, kalau memang mereka terbukti bersalah harus dihukum dan apabila tidak terbukti pelaku pembunuhan juga mesti diberi hukuman sesuai aturan yang berlaku," ujarnya.
Henry menyebutkan, Rabu (6/5) malam telah melakukan konferensi pers terkait dugaaan penganiayaan atas penangkapan 19 orang yang mengakibatkan lima pemuda, yaitu Abdul Wahab, Ali Husen, Muhamad Ali, Ibrahim alias Boim, Ahmad Syafei meninggal dunia.
Meskipun mereka terbukti bersalah, ia menegaskan, tindakan aparat kepolisian seharusnya tidak seperti itu, mengingat lima korban meninggal dunia itu memiliki tanda penyiksaan maupun luka tembak dengan enam lubang.
Faqih, sopir mobil boks asal Lampung Timur yang bekerja di Bogor menjelaskan, dia ditangkap anggota Polsek Serpong secara tiba-tiba pada Minggu (1/2) sore.
"Sekitar pukul 05.30 WIB, saya dan teman saya Boim serta Solihin didatangi anggota kepolisian. Saya sempat terbengong melihat senjata laras panjang, dan polisi mengikat kami bertiga dengan tangan di belakang. Setelah kontrakan digeledah, kami dibawa ke mobil dengan mata tertutup," ujarnya.
Warga Gunung Sugih Besar ini mengaku saat di perjalanan, beserta rekannya mengalami penyiksaan, seperti dipukul serta diancam dengan tembakan.
Ketika sampai di suatu tempat, aparat kepolisian itu melakukan penyetruman serta penyiksaan lain saat melakukan penyidikan.
"Saya tentu tidak mau mengakui apa yang dituduhkan, karena memang tidak pernah melakukan hal tersebut," kata dia lagi.
Ia menuturkan, selama tiga hari tiga malam dirinya dan rekan-rekannya mengalami penyiksaan yang tidak sewajarnya hingga akhirnya dibebaskan dengan menandatangani lima berkas yang tidak diketahui tentang apa.
"Kami juga diberitahukan bahwa lima rekan asal Lampung Timur telah melarikan diri, sebelum akhirnya diketahui mereka meninggal semua," katanya.
Ia berharap penegakan hukum dapat dilakukan dengan benar dan tidak merugikan orang yang tidak bersalah.
Solihin, salah satu korban penyekapan dan penyiksaan oleh aparat kepolisian Pospol Melati Mas Polsek Serpong, juga minta penegakan hukum itu berjalan sebagaimana mestinya tanpa merugikan pihak yang disangkakan melakukan tindak pidana.(Ant)