Praktisi hukum fidusia katakan pengambilan kendaraan harus melalui penetapan pengadilan

id Leasing mobil, proses leasing mobil, penetapan hakim pengambilan kendaraan

Praktisi hukum fidusia katakan pengambilan kendaraan harus melalui penetapan pengadilan

Praktisi hukum Wagiyo SH MH. (Antaralampung/ho)

Bandarlampung (ANTARA) - Praktisi hukum Wagiyo  mengatakan bahwa tidak ada lagi hak eksekutorial bagi debt collector apabila tidak ada kesepakatan antara debitur dan kreditur, seperti debitur menolak menyerahkan kendaraannya.

Menurut dia, hal tersebut harus melalui penetapan pengadilan dengan kata lain tidak boleh diambil paksa.

“Saya melihat dan mencermati peristiwa viral terkait eksekusi mobil yang terjadi di berbagai media beberapa hari ini yang berujung dipolisikan oleh pemiliknya. Apa yang dilakukan Polda Metro Jaya itu benar, kita dukung pernyataan Dirkrimum Polda Metro Jaya itu,” katanya, Jumat.

Wagiyo yang juga bekerja di perusahaan leasing sebagai Litigasi Manager di PT SGMW Multifinance Indonesia atau yang lebih dikenal dengan Wuling Finance dan sebagai Managing Partners di Kantor Hukum Wagiyo & Partners di Jakarta Selatan tersebut menjelaskan bahwa semua pihak harus bisa melihat permasalahan yang ada dengan jernih sehingga tidak menimbulkan persepsi yang tidak benar di masyarakat.

“Dan tentunya dengan kejadian ini kita bisa melihat dan belajar sehingga tidak terjadi peristiwa yang sama di kemudian hari,” kata dia.

Dia menambahkan, dalam pengambilan kendaraan seharusnya harus melalui penetapan pengadilan, dengan kata lain tidak boleh diambil paksa. Sepanjang tidak ada kesepakatan atau diserahkan secara sukarela selaras dengan Putusan MK No. 18/2019, yang secara umum dapat dipahami bahwa dalam kondisi tertentu titel eksekutorial tidaklah dapat dilaksanakan secara serta merta kecuali telah dimintakan penetapan eksekusi kepada pengadilan.

“Jadi kalau pemberi fiducia tidak mau menyerahkan secara suka rela maka penerima fiducia atau kuasanya tidak boleh mengambil atau melakukan eksekusi secara paksa karena hal ini bisa berujung dipolisikan, dan menjadi pidana lain,” kata dia lagi.

Walaupun sudah ada penetapan pengadilan, lanjut dia, sesuai dengan ketentuan Putusan MK Nomor 18/PUU-XVII/2019 terkadang masih ada persoalan dan kendala dalam hal eksekusinya. Persoalan atau kendala dimaksud biasanya tidak ada objek jaminan fiducia atau pemberi fiducianya saat pelaksanaan eksekusi oleh juru sita dilaksanakan.

“Walaupun pada saat proses Anmaning Pemberi fidusia sempat hadir namun kenyataannya pada saat pelaksanaan eksekusi terkadang menghindar. Jika hal ini terjadi maka proses hukum berikutnya harus dilakukan oleh pihak leasing melaporkan pemberi fidusia ke polisi dengan dugaan melakukan penggelapan objek jaminan fidusia, hal ini dilakukan jika pemberi fidusia tidak mau menyerahkan Objek jaminan fidusianya," katanya.

Wagiyo memaparkan bahwa permasalahan eksekusi jaminan fidusia sebenarnya tidak akan terjadi jika para pihak menyadari dan taat pada isi perjanjian kredit. Masalah muncul biasanya karena ada pihak yang tidak fair dan tidak menghargai isi perjanjian kredit yang telah dibuatnya

Padahal, lanjut dia lagi, pada pasal 30 UU No.42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyebutkan pemberi fidusia wajib menyerahkan benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia.

“Debitur biasanya menggunakan alasan untuk bisa mengulur waktu agar tetap bisa menggunakan jaminan fidusia dan bahkan ada juga pihak debitur yang nakal pada saat penerima fidusia akan mengambil objek jaminannya karena debitur wanprestasi ternyata objek jaminan dimaksud sudah tidak ada ditempat debitur,” ujarnya.

Jika hal tersebut di atas terjadi maka, jelas Wagiyo, Putusan Pengadilan dibutuhkan untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia karena tidak ada alternatif pilihan lain jika pemberi fidusia tidak mau menyerahkan barang jaminnya secara suka rela.

Untuk itu ujar Wagiyo, sebagai praktisi hukum yang sudah lama menangani masalah kredit macet di berbagai Perusahaan Leasing dan Finance mengingatkan agar para pihak baik debitur maupun kreditur untuk fair dan saling menghormati isi perjanjian yang telah dibuatnya.

“Jika debitur mulai menunggak atau wanprestasi maka kewajiban kreditur segera mengingatkan agar debitur menyadari dan tahu bahwa dirinya sdh wanprestrasi (menunggak), dan debitur segera mentaati isi perjanjian,” ujar pria beruban ini.