YLBHI sarankan proses hukum kasus KM-50 agar dihentikan
Jakarta (ANTARA) - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyarankan proses hukum kasus bentrokan antara polisi dengan Laskar Pembela Islam di Jalan Tol Jakarta-Cikampek, yang biasa disebut kasus KM 50, dihentikan setelah polisi menetapkan enam anggota Laskar Pembela Islam yang tewas sebagai tersangka.
"YLBHI menyarankan proses hukum ini tidak diteruskan agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Saran YLBHI agar kasus tersebut dihentikan, menurut Isnur, bukan masalah kasus enam orang anggota Laskar Pembela Islam yang tewas, tetapi bagaimana Indonesia sebagai prinsip negara hukum yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tegak dan berlaku.
Isnur mengatakan penetapan orang orang yang tewas dalam kejadian tersebut sebagai hal yang aneh dan bertentangan dengan pengaturan dan prinsip hukum acara pidana.
Menurut Isnur, Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa kewenangan menuntut pidana dihapus bila tertuduh meninggal dunia.
"Ini berbahaya bila dianggap sebagai sebuah standar penegakan hukum. Bila mengikuti pola ini, seharusnya polisi juga bisa meneruskan kasus lain yang tertuduhnya meninggal, misalnya kasus yang melibatkan Soeharto," tuturnya.
Selain itu, ketentuan hukum acara pidana juga menyebutkan hak tersangka untuk membela diri, membantah tuduhan, mengajukan saksi yang meringankan, mendapatkan bantuan hukum, dan lain-lain.
"Bagaimana tersangka bisa melakukan hal-hal terkait dengan haknya bila meninggal dunia," ujarnya.
"YLBHI menyarankan proses hukum ini tidak diteruskan agar tidak semakin merusak prinsip negara hukum dan membuat masyarakat semakin tidak percaya hukum," kata Ketua Bidang Advokasi YLBHI, Muhammad Isnur, melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Kamis.
Saran YLBHI agar kasus tersebut dihentikan, menurut Isnur, bukan masalah kasus enam orang anggota Laskar Pembela Islam yang tewas, tetapi bagaimana Indonesia sebagai prinsip negara hukum yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tegak dan berlaku.
Isnur mengatakan penetapan orang orang yang tewas dalam kejadian tersebut sebagai hal yang aneh dan bertentangan dengan pengaturan dan prinsip hukum acara pidana.
Menurut Isnur, Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa kewenangan menuntut pidana dihapus bila tertuduh meninggal dunia.
"Ini berbahaya bila dianggap sebagai sebuah standar penegakan hukum. Bila mengikuti pola ini, seharusnya polisi juga bisa meneruskan kasus lain yang tertuduhnya meninggal, misalnya kasus yang melibatkan Soeharto," tuturnya.
Selain itu, ketentuan hukum acara pidana juga menyebutkan hak tersangka untuk membela diri, membantah tuduhan, mengajukan saksi yang meringankan, mendapatkan bantuan hukum, dan lain-lain.
"Bagaimana tersangka bisa melakukan hal-hal terkait dengan haknya bila meninggal dunia," ujarnya.