Sekitar 500.000 ternak babi di NTT mati akibat virus ASF
Kupang (ANTARA) - Program kemitraan pembangunan Australia Indonesia menyebutkan 500.000 ternak babi di Provinsi Nusa Tenggara Timur mati karena paparan virus African Swine Fever (ASF) saat pertama kali mewabah di daerah itu pada 2020 sehingga berdampak kerugian ekonomi bagi peternak.
"Pada tahun 2020 penularan cepat virus ASF di NTT mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 ekor babi dan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak," kata CEO Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture (PRISMA) Nina FitzSimons di Kupang, Selasa.
Nina FitzSimons mengatakan hal itu saat melakukan penyerahan tiga unit alat diagnostik Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) untuk deteksi virus African Swine Fever (ASF) atau demam Babi Afrika dari pemerintah Australia senilai Rp1,4 miliar guna mendukung penanganan pencegahan penularan ASF di NTT.
Ia mengatakan ketiga alat deteksi virus ASF itu untuk mendukung Pemerintah NTT dalam upaya pemulihan sektor peternakan babi di NTT yang merupakan daerah dengan populasi ternak babi terbesar di Indonesia.
Menurut dia ketiga alat senilai Rp1,4 miliar merupakan alat diagnostik Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) dan reagen terkait yang dikirimkan sebagai bagian dari paket dapat mendeteksi virus ASF pada Babi yang ditempatkan di tiga lokasi yaitu Pulau Flores, Sumba dan Timor.
"Alat ini diharapkan dapat mendukung Pemerintah NTT dalam upaya pemulihan usaha sektor Babi di Provinsi NTT mengingat diagnosis dapat dilakukan lebih cepat, sehingga tindakan pengendalian dapat segera dilakukan," kata Nina FitzSimons.
Dia mengatakan Provinsi NTT memiliki populasi babi terbesar di Indonesia dan pada tahun 2020 penularan cepat virus ASF di NTT mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 ekor babi dan kerugian ekonomi yang sangat besar dan saat ini virus Babi Afri kembali terjadi NTT sehingga perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan penularan.
"Wabah baru virus ASF yang terjadi pada 2023 ini kembali membuat NTT menjadi daerah yang paling terdampak di Indonesia baik secara ekonomi maupun budaya," tegasnya.
Selain penyerahan LAMP, Pemerintah Australia melalui Program Australia Indonesia Partnership for Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture (PRISMA) dan Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) juga akan melakukan kegiatan peningkatan kapasitas (bimbingan teknis), Lokakarya, dan training of trainers (ToT) dengan sasaran petugas lapangan veteriner dan teknisi laboratorium.
Selain membantu produsen ternak, dampak dari penggunaan LAMP juga diharapkan dapat memberikan dorongan ekonomi bagi pelaku pasar yang terlibat dalam perdagangan ternak dan produk turunannya.
“Kami sangat bahagia petani skala kecil dan pengusaha yang terlibat dalam pengembangan sektor Babi akan mendapatkan akses terhadap fasilitas pengujian penyakit hewan yang tersedia di Pulau Sumba, Flores dan Timor. Hal ini akan membuat ternak babi milik peternak aman dan pendapatannya terlindungi, selagi sektor Babi ini pulih dari Virus Demam Babi Afrika” kata Nina FitzSimons.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: 500.000 ternak babi di NTT mati akibat virus ASF
"Pada tahun 2020 penularan cepat virus ASF di NTT mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 ekor babi dan kerugian ekonomi yang sangat besar bagi peternak," kata CEO Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture (PRISMA) Nina FitzSimons di Kupang, Selasa.
Nina FitzSimons mengatakan hal itu saat melakukan penyerahan tiga unit alat diagnostik Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) untuk deteksi virus African Swine Fever (ASF) atau demam Babi Afrika dari pemerintah Australia senilai Rp1,4 miliar guna mendukung penanganan pencegahan penularan ASF di NTT.
Ia mengatakan ketiga alat deteksi virus ASF itu untuk mendukung Pemerintah NTT dalam upaya pemulihan sektor peternakan babi di NTT yang merupakan daerah dengan populasi ternak babi terbesar di Indonesia.
Menurut dia ketiga alat senilai Rp1,4 miliar merupakan alat diagnostik Loop Mediated Isothermal Amplification (LAMP) dan reagen terkait yang dikirimkan sebagai bagian dari paket dapat mendeteksi virus ASF pada Babi yang ditempatkan di tiga lokasi yaitu Pulau Flores, Sumba dan Timor.
"Alat ini diharapkan dapat mendukung Pemerintah NTT dalam upaya pemulihan usaha sektor Babi di Provinsi NTT mengingat diagnosis dapat dilakukan lebih cepat, sehingga tindakan pengendalian dapat segera dilakukan," kata Nina FitzSimons.
Dia mengatakan Provinsi NTT memiliki populasi babi terbesar di Indonesia dan pada tahun 2020 penularan cepat virus ASF di NTT mengakibatkan kematian lebih dari 500.000 ekor babi dan kerugian ekonomi yang sangat besar dan saat ini virus Babi Afri kembali terjadi NTT sehingga perlu dilakukan berbagai upaya pencegahan penularan.
"Wabah baru virus ASF yang terjadi pada 2023 ini kembali membuat NTT menjadi daerah yang paling terdampak di Indonesia baik secara ekonomi maupun budaya," tegasnya.
Selain penyerahan LAMP, Pemerintah Australia melalui Program Australia Indonesia Partnership for Promoting Rural Incomes through Support for Markets in Agriculture (PRISMA) dan Program Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP) juga akan melakukan kegiatan peningkatan kapasitas (bimbingan teknis), Lokakarya, dan training of trainers (ToT) dengan sasaran petugas lapangan veteriner dan teknisi laboratorium.
Selain membantu produsen ternak, dampak dari penggunaan LAMP juga diharapkan dapat memberikan dorongan ekonomi bagi pelaku pasar yang terlibat dalam perdagangan ternak dan produk turunannya.
“Kami sangat bahagia petani skala kecil dan pengusaha yang terlibat dalam pengembangan sektor Babi akan mendapatkan akses terhadap fasilitas pengujian penyakit hewan yang tersedia di Pulau Sumba, Flores dan Timor. Hal ini akan membuat ternak babi milik peternak aman dan pendapatannya terlindungi, selagi sektor Babi ini pulih dari Virus Demam Babi Afrika” kata Nina FitzSimons.
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul: 500.000 ternak babi di NTT mati akibat virus ASF