Ibnu Jamil sebut kesulitan belajar bahasa Sunda untuk peran film "Nana"
Jakarta (ANTARA) - Aktor Ibnu Jamil mengaku merasa kesulitan sekaligus tertantang ketika belajar dan berlatih bahasa Sunda lawas untuk mendalami perannya di film “Before, Now & Then (Nana)” garapan Kamila Andini.
“Saya orang Jakarta, Betawi asli. Disuruh (bicara) bahasa Sunda, ya, mesti PR harus ada proses di workshop-nya. Tapi itulah sebagai aktor, yang kalau kita serius dan jatuh cinta sama proyeknya, pasti totalitas menjalankannya,” kata Ibnu saat dijumpai wartawan, Jumat.
Ibnu bercerita sebelumnya ia pernah terlibat dalam proyek film televisi (FTV) dengan dialog bahasa Sunda, namun perannya di film kali ini menuntut dirinya mempelajari kembali bahasa Sunda era 60-an yang memiliki perbedaan karakteristik dengan masa sekarang.
Baca juga: Film "Nana" jadi kado terakhir untuk Mami sebut Jais Darga
“Pas tiba-tiba dapat telepon, dapat undangan casting. Tapi filmnya bahasa Sunda. Oke, nggak apa-apa dicoba. Dicoba pas casting, oh, aman. Pas workshop-nya, ribet, karena ada ahli-ahli bahasa Sunda. ‘Kang Ibnu itu mah bahasa Sundanya FTV’,” cerita Ibnu.
Meski merasa kesulitan, ia merasa gembira bisa terlibat dalam proyek film ini sebab sebelumnya sudah tertarik dengan karya-karya Kamila Andini. Terlebih, film buatan Kamila, kata Ibnu, biasanya menawarkan sesuatu yang berbeda, termasuk karakternya di film “Nana” yang tidak seperti karakter mainstream yang pernah ia mainkan sebelumnya.
“Ini film pertama saya bersama dengan mbak Kamila Andini yang sebelumnya saya sudah mengincar lama banget karena dari awal saya nonton film keduanya 'Sekala Niskala', saya sudah jatuh cinta dengan karya-karyanya,” akunya.
Ia juga merasa senang ketika mendapat kabar bahwa film “Nana” masuk ke Festival Film Berlin. Menurutnya, hal tersebut bisa dijadikan parameter bahwa film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memiliki prestasi yang mampu berbicara di festival-festival luar. Kemajuan film Indonesia dalam sisi kualitas, kata Ibnu, sudah bisa bersaing dengan film-film dari mancanegara.
“Mudah-mudahan ini adalah ekosistem yang sudah mulai tumbuh sehat dan bisa lebih maju lagi. Itu bisa berdampak tidak hanya kami sebagai filmmaker, tapi juga buat penonton Indonesia bisa punya banyak alternatif dan tontonan yang berkualitas,” pungkasnya.
Baca juga: Gita Fara bilang unsur lokal bukan penghambat film capai audiens luas
Baca juga: "Before, Now & Then" masuk kompetisi utama Festival Film Berlin
“Saya orang Jakarta, Betawi asli. Disuruh (bicara) bahasa Sunda, ya, mesti PR harus ada proses di workshop-nya. Tapi itulah sebagai aktor, yang kalau kita serius dan jatuh cinta sama proyeknya, pasti totalitas menjalankannya,” kata Ibnu saat dijumpai wartawan, Jumat.
Ibnu bercerita sebelumnya ia pernah terlibat dalam proyek film televisi (FTV) dengan dialog bahasa Sunda, namun perannya di film kali ini menuntut dirinya mempelajari kembali bahasa Sunda era 60-an yang memiliki perbedaan karakteristik dengan masa sekarang.
Baca juga: Film "Nana" jadi kado terakhir untuk Mami sebut Jais Darga
“Pas tiba-tiba dapat telepon, dapat undangan casting. Tapi filmnya bahasa Sunda. Oke, nggak apa-apa dicoba. Dicoba pas casting, oh, aman. Pas workshop-nya, ribet, karena ada ahli-ahli bahasa Sunda. ‘Kang Ibnu itu mah bahasa Sundanya FTV’,” cerita Ibnu.
Meski merasa kesulitan, ia merasa gembira bisa terlibat dalam proyek film ini sebab sebelumnya sudah tertarik dengan karya-karya Kamila Andini. Terlebih, film buatan Kamila, kata Ibnu, biasanya menawarkan sesuatu yang berbeda, termasuk karakternya di film “Nana” yang tidak seperti karakter mainstream yang pernah ia mainkan sebelumnya.
“Ini film pertama saya bersama dengan mbak Kamila Andini yang sebelumnya saya sudah mengincar lama banget karena dari awal saya nonton film keduanya 'Sekala Niskala', saya sudah jatuh cinta dengan karya-karyanya,” akunya.
Ia juga merasa senang ketika mendapat kabar bahwa film “Nana” masuk ke Festival Film Berlin. Menurutnya, hal tersebut bisa dijadikan parameter bahwa film Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memiliki prestasi yang mampu berbicara di festival-festival luar. Kemajuan film Indonesia dalam sisi kualitas, kata Ibnu, sudah bisa bersaing dengan film-film dari mancanegara.
“Mudah-mudahan ini adalah ekosistem yang sudah mulai tumbuh sehat dan bisa lebih maju lagi. Itu bisa berdampak tidak hanya kami sebagai filmmaker, tapi juga buat penonton Indonesia bisa punya banyak alternatif dan tontonan yang berkualitas,” pungkasnya.
Baca juga: Gita Fara bilang unsur lokal bukan penghambat film capai audiens luas
Baca juga: "Before, Now & Then" masuk kompetisi utama Festival Film Berlin