Perubahan iklim: Memitigasi banjir dan longsor di Danau Toba

id Danau Toba,perubahan iklim,banjir,longsor,destinasi wisata,DSP,geopark,UGG

Perubahan iklim: Memitigasi banjir dan longsor di Danau Toba

Pemandangan Danau Toba dari kawasan The Kaldera Toba Nomadic Escape, Pardamean Sibisa, Ajibata, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara, Senin (22/2/2021). The Kaldera Toba Nomadic Escape merupakan tempat wisata yang menawarkan keindahan dengan konsep Glamorous Camping atau Glamping bagi wisatawan yang menginginkan kenyamanan, tetapi tetap merasakan langsung suasana alam. (ANTARA FOTO/Nova Wahyudi/)

Jakarta (ANTARA) - Dalam beberapa dekade terakhir, bencana banjir dan longsor semakin sering terjadi di Kawasan Danau Toba.

Penelitian yang dilakukan oleh Irawadi et al. (2023) yang dipublikasikan pada jurnal Scientific Reports Nature menunjukkan selama 40 tahun terakhir tren suhu dan curah hujan di kawasan Danau Toba meningkat secara signifikan.

Tren suhu di kawasan itu meningkat sebesar 0,006 °C per tahun, sejalan dengan rata-rata kenaikan suhu global, sementara tren curah hujan meningkat sebesar 0,71 mm per tahun. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa perubahan iklim memberikan pengaruh yang signifikan di Kawasan Danau Toba.

Perubahan pola curah hujan di seluruh Kawasan Danau Toba yang cenderung meningkat di masa depan, akan berdampak pada berbagai sektor, seperti pertanian, perikanan, dan lingkungan hidup. Mengingat kondisi geografis Kawasan Danau Toba yang dikelilingi pergunungan dan perbukitan karena terletak di kawasan pegunungan Bukit Barisan, maka peningkatan curah hujan ini dapat memperburuk risiko bencana banjir dan longsor.

Kejadian bencana longsor dan banjir baru-baru ini di Kawasan Danau Toba, seperti yang terjadi di Desa Simangulappe, Bakkara (1 Desember 2023) dan di Kota Parapat (16 Maret 2025), semakin memperkuat temuan dari penelitian Irawadi et al. (2023).

Hal ini juga didukung data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Sumatra Utara periode 2018 hingga 2023, dimana tren kejadian bencana banjir dan longsor di Kawasan Danau Toba juga meningkat tajam.

Peningkatan frekuensi bencana banjir dan longsor ini menjadi masalah yang sangat serius, karena tidak hanya merusak infrastruktur dan mengganggu kegiatan sosial-ekonomi masyarakat, tetapi juga mengancam keselamatan jiwa, seperti yang telah terjadi di Desa Simangulappe pada tahun 2023.

Perubahan iklim menjadi isu yang sangat penting dan perlu mendapat perhatian serius di Kawasan Danau Toba, karena dapat merusak ekosistem wilayah tersebut jika tidak dilakukan upaya pencegahan.

Sebagai contoh, dalam beberapa waktu terakhir ini, permukaan air Danau Toba terus mengalami peningkatan, baik berdasarkan pengamatan langsung di lapangan maupun pemantauan satelit.

Salah satu faktor penyebab kenaikan tinggi muka air Danau Toba adalah peningkatan curah hujan akibat dampak perubahan iklim. Dampak negatif dari kenaikan muka air itu, antara lain adalah kerusakan infrastruktur di sekitar pinggiran danau.

Fasilitas wisata yang sebelumnya telah dibangun untuk mendukung sektor pariwisata telah terendam air, sehingga mengalami kerusakan dan mengurangi keindahan, yang pada akhirnya dapat menurunkan jumlah kunjungan wisatawan.

Kegiatan ekonomi para petani sawah dan peternak ikan yang berhubungan langsung dengan pinggir danau juga mengalami masalah akibat naiknya muka danau lebih dari 1,5 m.

Tren peningkatan suhu di Kawasan Danau Toba juga berpotensi memperburuk kondisi sektor pertanian karena peningkatan suhu dapat mengubah pola tanam. Jika petani tidak memperoleh informasi yang lengkap dan akurat terkait waktu mulai tanam, potensi gagal panen pun mengancam.

Karena sebagian besar penduduk yang tinggal di Kawasan Danau Toba adalah petani tradisional yang sangat bergantung pada hasil pertanian, maka kerentanan petani terhadap kegagalan panen akan semakin tinggi akibat kondisi cuaca dan iklim yang semakin tidak menentu.

Ekosistem di Kawasan Danau Toba yang merupakan danau vulkanik terbesar di dunia itu penting untuk dijaga kelestariannya mengingat peran penting danau tersebut untuk mendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.

Kawasan Danau Toba telah ditetapkan sebagai salah satu Destinasi Super Prioritas (DSP) oleh Pemerintah Indonesia, dengan harapan bisa meningkatkan daya tarik serta pengembangan sektor pariwisata.

Pada tahun 2020, Kawasan Danau Toba juga resmi diakui sebagai Unesco Global Geopark (UGG). Ditetapkannya Kawasan Danau Toba menjadi DSP akan meningkatkan kegiatan pembangunan sarana dan parasarana. Pembangunan hotel-hotel semakin meningkat, demikian juga pembangunan dan pengembangan kasawan dan spot wisata untuk menarik para pengunjung, seperti pembangunan kawasan wisata di Sibea-bea Samosir.

Kegiatan pembangunan ini harus diawasi secara ketat dengan menjalankan analisis dampak lingkungan yang juga mempertimbangkan dampak perubahan iklim.

Status Kawasan Danau Toba sebgai DSP dan UGG perlu dipertahankan dengan melaksanakan berbagai program kegiatan yang sejalan dengan tujuan penetapan kawasan itu sebagai DSP dan UGG.

Salah satu hal penting adalah pelestarian ekosistem Kawasan Danau Toba secara berkelanjutan.

Bayangkan jika intensitas bencana banjir dan longsor terus meningkat, maka tidak menutup kemungkinan status Kawasan Danau Toba yang telah disandang saat ini dapat dicabut, yang tentu saja akan merugikan negara dan khususnya masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut.

Saat ini, Kawasan Danau Toba dihadapkan pada ancaman bencana yang serius sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim, yakni bencana banjir dan longsor. Mengingat peranan strategis kawasan itu, baik secara lokal maupun nasional, maka permasalahan bencana banjir dan longsor ini tidak boleh dianggap sepele.

Pelestarian ekosistem Kawasan Danau Toba harus dilakukan secara holistik dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat (individu, kelompok sosial, pengusaha, dan pemerintah). Seluruh elemen masyarakat perlu meningkatkan kesadaran bersama tentang arti dan pentingnya menjaga dan melestarikan ekosistem di kawasan Danau Toba.

Ada beberapa langkah yang bisa dilakukan sebagai upaya mitigasi dan adaptasi bencana longsor dan banjir. Pertama, menjaga keseimbangan tutupan vegetasi hutan dan lahan terbuka di seluruh Kawasan Danau Toba, sesuai dengan kondisi geografis dan lingkungannya di wilayah pergunungan.

Kedua, melakukan kajian ulang terhadap rencana tata ruang jika belum mempertimbangkan dampak perubahan iklim yang signifikan di kawasan itu. Ketiga, yang terpenting adalah melakukan pengawasan yang ketat terhadap segala aktivitas individu, pengusaha, dan pemerintah yang dapat berdampak negatif terhadap keberlanjutan ekosistem di Kawasan Danau Toba.

Dengan demikian, keunikan, keindahan, dan kelestarian Kawasan Danau Toba tetap terjaga, sehingga status sebagai DSP dan UGG tetap bisa dipertahankan.

*) Prof Dr Jonson Lumban Gaol adalah pakar kelautan dan iklim, Guru Besar di Institut Pertanian Bogor