Bandarlampung (ANTARA) - LSM LAdA Damar mencatat kejadian kekerasan terhadap perempuan dan anak di Provinsi Lampung selama tahun 2021 sebanyak 239 kasus dan 179 kasus diantaranya kekerasan seksual.
"Kalau kita rinci berdasarkan bentuk kekerasan. Maka kasus kekerasan seksual merupakan yang tertinggi di Lampung dengan 179 kasus," kata Direktur Eksekutif LAdA Damar Lampung, Sely Fitriani, di Bandarlampung, Selasa.
Dia memperincikan bahwa dari 179 kasus kekerasan seksual tersebut terdiri dari 27 kasus perkosaan, 127 kasus pencabulan, 2 KBGO, 5 kasus kekerasan berbasis gender online, satu kasus ekshibionis, 17 kasus perdagangan manusia untuk tujuan eksploitasi seksual.
"Bentuk kekerasan yang terbanyak lainnya adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga yakni 35 kasus, dilanjutkan 9 kasus pembunuhan, 5 penganiayaan, dan 5 perampokan, 6 lainnya tidak diketahui," ujarnya.
Menurutnya, dari angka tersebut menunjukkan bahwa di Lampung setiap bulan terjadi 20 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak, ataupun setiap pekan terjadi lebih dari 5 kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.
Kemudian, lanjut dia, berdasarkan wilayah kejadian kekerasan tersebut Kota Bandarlampung menjadi daerah terbanyak sebanyak 47 kasus, diikuti Kabupaten Lampung Timur 34 kasus, Tulangbawang 21 kasus, Lampung Tengah 20 kasus, Tanggamus 17 kasus, Lampung Utara 16 kasus, Lampung Selatan 15 dan Waykanan 15 kasus, Pesawaran 11 kasus, Pringsewu 7 kasus, Mesuji 5 kasus, Lampung Barat dua dan Kota Metro 2 kasus.
"Adapula kejadian kekerasan perempuan dan anak yang terjadi di luar wilayah Lampung, seperti, Palembang, Riau, Pangkal Pinang, dan Malaysia sebanyak 10 kasus, dan kasus yang tidak diketahui sebanyak 17 kasus," kata dia.
Menurutnya, berdasarkan pengalaman pendampingan yang dilakukan oleh LAda Damar terdapat beberapa faktor yang membuat terus terjadinya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak berdasarkan pengalaman pendampingan.
"Faktor budaya yang masih menganggap perempuan sebagai manusia nomor dua setelah laki-laki yang berimbas pada perempuan dan anak-anak menjadi pihak yang didominasi, sehingga kurang dihormati, bahkan dilecehkan," kata dia.
Kemudian, faktor belum optimalnya perlindungan hukum yang mengatur secara khusus tentang kekerasan seksual, dan
perempuan ditempatkan sebagai objek pelampiasan gejolak seksualitas laki-laki, sehingga pria dianggap wajar kalau tidak bisa menahan gejolak seksualnya.
Oleh sebab itu, pihaknya pun terus mendorong pemerintah segera memberikan perlindungan kepada anak korban kekerasan, melalui urgensi pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
"Sepanjang tahun 2021, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) telah melalui perjalanan yang sangat panjang dan mengalami tarik ulur. pemerintah harus proaktif membuat dan mendorong legislatif menciptakan regulasi yang berpihak pada korban kekerasan seksual," katanya.