Walhi: Konflik Dipicu Pengelolaan Sumberdaya Alam

id Walhi: Konflik Dipicu Pengelolaan Sumberdaya Alam

Walhi: Konflik Dipicu Pengelolaan Sumberdaya Alam

Dialog Kritis-Refleksi Konflik Sumberdaya Alam Lampung dalam Perspektif HAM, Agraria, dan Konflik Sosial, disiarkan Radar Lampung Televisi, di Bandarlampung, Jumat (29/3) malam, menghadirkan narasumber nasional dan lokal. (Foto: ANTARA LAMPUNG/Budisa

Bandarlampung, 30/3 (ANTARA LAMPUNG) - Menurut Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan, faktor utama pemicu konflik di Indonesia antara lain adalah bersumber dari kebijakan bertumpul padapengelolaan sumberdaya alam sebagai penopang utama bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

"Sekitar 60 persen pembangunan nasional berbasiskan pengelolaan sumberdaya alam," kata dia pada Dialog Kritis-Refleksi Konflik Sumberdaya Alam Lampung dalam Perspektif HAM, Agraria, dan Konflik Sosial, disiarkan Radar Lampung Televisi, di Bandarlampung, Jumat (29/3) malam.

Kebijakan mengedepankan pengelolaan sumberdaya alam itu menurut dia, mengakibatkan terjadi benturan kepentingan dan konflik antara masyarakat dengan perusahaan (korporat) yang menguasai sumberdaya alam maupun pemerintah yang memiliki kebijakan dan mengeluarkan perizinan yang diperlukan.

Diperkirakan, ke depan konflik yang terjadi akan semakin meningkat, sejalan dengan kian menyusut sumberdaya alam tersedia yang justru makin banyak pihak yang memperebutkannya.

Ketua Komnas-HAM SN Laila mengemukakan, pola konflik di Lampung terkait pelanggaran HAM di dalamnya adalah konflik agraria dengan penguasaan dan pengelolaan sumberdaya alam.

Dia menyebutkan, secara umum di Indonesia saat ini pelaku pelanggaran HAM tertinggi adalah pihak kepolisian, disusul pemerintahan daerah dan perusahaan.

"Saat ini kami di Komnas-HAM sedang mendalami pelanggaran HAM dan korporat di dalamnya," ujar Laila yang juga berasal dari Lampung itu lagi.

Ia menegaskan, pihaknya akan mencoba mendorong penyelesaikan sejumlah konflik yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM di Lampung, khususnya konflik yang menonjol dan mendapatkan perhatian luas masyarakat maupun media massa.

Staf Advokasi SDA Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) Munir menyampaikan adanya kecenderungan peningkatan konflik berkaitan pengelolaan dan perebutan akses sumberdaya alam di seluruh Indonesia, termasuk di Lampung.

Dia menyebutkan, tahun 2011 lalu terjadi sedikitnya 57 kasus konflik sosial di seluruh Indonesia, dan pada tahun 2012 meningkat menjadi 161 kasus.

Konflik di Lampung pada tahun 2012 sebanyak lima kasus, dengan korban 13 orang tewas dan satu mengalami luka-luka, sehingga daerah Lampung telah diperhitungkan serta menjadi perhatian secara nasional, kata dia lagi.

Dialog itu bertemakan "Berdaulat di lapangan Politik, Berdikari di lapangan Ekonomi, dan Beretika di lapangan Budaya" mengundang para birokrat/pejabat, tokoh masyarakat dan agama, tokoh adat, aktivis di Lampung termasuk yang berkiprah di kancah nasional, jurnalis, akademisi, dan kalangan profesional.

Walhi Lampung menyatakan bahwa konflik pengelolaan sumberdaya alam, agraria, dan konflik sosial terjadi hampir di semua daerah di Indonesia, antara lain akibat dari penguasaan lahan dan ekspansi oleh pemilik modal selama ini, dan merupakan masalah yang sudah lama berlangsung.

Namun upaya penyelesaiannya belum menunjukkan hasil berkeadilan bagi rakyat sebagai pemilik sumber-sumber kehidupan yang berdaulat, dan pada akhirnya terakumulasi pada sebuah konflik dan pelanggaran HAM, kata Direktur Eksekutif Walhi Lampung Bejoe Dewangga pula.

"Akar persoalan konflik itu terkait agraria dan penguasaan sumberdaya alam, pelanggaran izin oleh perusahaan, kontrol yang lemah dari pemerintah yang selama ini tidak diselesaikan, sehingga memicu konflik yang berkepanjangan dan banyak menimbulkan korban," ujar dia lagi.

Pemprov Lampung Absen
Pemerintah Provinsi Lampung dan dinas terkait yang diundang menghadiri Dialog Kritis-Refleksi Konflik Sumberdaya Alam Lampung dalam Perspektif HAM, Agraria, dan Konflik Sosial, Jumat malam ini, justru tidak hadir alias absen.

Padahal menurut Deputy Direktur Walhi Lampung, Supriyanto, panitia diskusi itu telah mengundang Gubernur Lampung Sjachroedin ZP, Kepala Dinas Kehutanan Warsito dan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Lampung serta Kepala Polda Lampung Brigjen Pol Heru Winarko.

"Kami sudah mengecek sebelumnya, Gubernur Lampung mendelegasikan kepada salah satu Asisten Sekdaprov Lampung namun hingga acara berlangsung tidak ada konfirmasi kehadirannya, begitu pula dinas dan badan terkait," ujar dia.

Begitu pula kehadiran Kapolda Lampung yang diinformasikan akan diwakilkan salah satu direktur jajaran Polda ini, namun tidak juga hadir hingga acara usai.

Pengamat sosial dan politik yang juga dosen Universitas Bandarlampung (UBL), Dr Jauhari M Zailani menyayangkan ketidakhadiran jajaran Pemprov Lampung dan dinas terkait, padahal forum diskusi tersebut sangat penting dan bergengsi sebagai tempat untuk mengkomunikasikan dan mengklarifikasi berbagai kebijakan dalam penanganan konflik di daerah ini.

"Dalam forum dialog kritis ini sejumlah narasumber nasional dari Komnas-HAM, Kontras, dan beberapa lainnya hadir, tapi justru pemerintah daerah dan dinas terkait yang paling berkepentingan dengan daerah ini tidak hadir. Ini sangat disayangkan," ujar mantan Dekan FISIP UBL itu pula.

Sejumlah narasumber dan pembicara dalam dialog digelar Walhi Lampung itu, selain Ketua Komnas-HAM SN Laila, Direktur Eksekutif Nasional Walhi Abetnego Tarigan, Staf Advokasi Sumberdaya Alam Kontras Munir, juga dihadiri utusan dari Korem 043 Garuda Hitam Lampung Mayor Sri Hartono, akademisi FISIP Unila Dr Hartoyo, Direktur LBH Bandarlampung Wahrul Fauzi Silalahi, Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Lampung Ichwanto M Nuh, dan sejumlah narasumber lainnya.

Perwakilan jurnalis dan LSM serta mahasiswa ikut hadir dan berbicara dalam forum tersebut.

Dialog diawali pembacaan dua sajak oleh penyair Lampung Edy Samudera Kertagama dan pelukis Dana E Rachmat yang membuat skesta lukisannya.

Penampilan kelompok akustik LBH Bandarlampung mengakhiri dialog tersebut.