Eddy Aqdhiwijaya lahir di Tangerang pada 19 Maret 1990, muncul dunia filantropi bersamaan dengan masa krisis COVID-19. Eddy menjadi satu diantara para milenial yang ia libatkan untuk membantu masyarakat.
Kiprahnya di dunia filantropi tidak berhenti sampai disitu. Hingga sekarang Eddy terus aktif menyuarakan pentingnya partisipasi kalangan muda dalam dunia filantropi.
"Masih banyak generasi muda yang belum mengetahui dunia filantropi. Bahkan dari mereka beranggapan bahwa filantropi adalah urusan para 'sultan'. Padahal sederhananya, filantropi juga perlu menjadi urusan milenial dan Gen Z. Bantuan yang diberikan tidak mesti berupa dana, tetapi waktu, tenaga dan skill juga bisa diberikan, dan menjadi bagian dari filantropi," kata Eddy, dalam keterangannya di Bandarlampung, Kamis.
Ia mengungkap nasihat Cendekiawan Muslim Haidar Bagir bahwa menjadi Muslim itu harus menjadi pencinta. Pencinta makhluk-Nya Allah SWT. Salahsatunya filantropi. Filantropi dari kata ‘Philein’ (cinta) dan ‘Antrhopos’ (manusia), mencintai manusia.
Menurutnya, kegiatan filantropi ini harus dilakukan oleh semua orang, termasuk oleh kalangan muda milenial.
Citra filantropis, yang erat dengan tokoh-tokoh konglomerat sering membuat kita salah kaprah terhadap arti sebenarnya, memaknai filantropi sebatas kegiatan eksklusif yang hanya dapat dilakukan oleh orang-orang dengan sumber daya finansial yang besar.
Padahal, sederhananya dapat disebut sebagai tindakan kedermawanan. Sumber daya yang disumbangkan pun tidak hanya sebatas dana, tetapi juga bisa berupa waktu, tenaga, pikiran dan skill atau kemampuan diri.
Dalam kondisi krisis di masa pandemi, Eddy terlibat aktif dalam #SalingJaga hadapi Covid-19. Bahkan ia yang mengkoordinir gerakan #SalingJaga disejumlah daerah bersama para milenial lainnya dari GIC yang tersebar di wilayah Indonesia. Wabah Covid-19 telah menjadi bencana yang merugikan kesehatan, sosial dan ekonomi warga.
Masyarakat miskin dan pekerja informal adalah salah satu kelompok rentan yang sulit untuk menyambung hidup pada situasi seperti itu. Hal tersebut, yang menjadi alasan kepeduliannya di tengah krisis akibat pandemi COVID-19.
Tak hanya itu, ia juga gencar menyuarakan #WeStandforPalestinian #IslamCintaPalestina menurut Eddy, ada tiga hal yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk membantu Palestina: Pertama adalah #PesanCinta terus sebarkan pesan cinta kepada dunia. Suarakan keadilan dan perdamaian bagi semua.
Kedua #KirimDoa sisipkan dalam doa kita, harapan terbaik korban-korban tak berdosa. Semoga perdamaian dan kemerdekaan bisa terwujud di tanah Palestina. Ketiga #GalangDana Sisihkan sebagian rezeki kita untuk membantu meringankan beban mereka. Salurkan melalui kitabisa.com dan Dompet Dhuafa.
Di tengah kesibukannya menjalankan filantropi, dalam kesehariannya Eddy selalu menyempatkan diri untuk membaca buku. Diantara buku-bukunya yang banyak itu, ia merekomendasikan satu buku yang penting di baca oleh milenial dan gen z untuk memahami filantropi yaitu buku Twelve Steps To A Compassionate Life karangan Karen Armstrong.
Tidak hanya dua program di atas, Eddy juga aktif mempromosikan pesan kemanusiaan melalui nilai-nilai literasi, cinta, damai dan welas asih agama Islam kepada masyarakat luas.
Sejumlah program literasi terus dilaksanakan, ia memimpin redaksi sejumlah penerbitan buku-buku populer di Gerakan Islam Cinta (GIC) dengan melibatkan para penulis milenial seperti Husein Ja’far Al Hadar, Kalis Mardiasih, Zulfan Taufik, Azam Bahtiar dan masih banyak lagi yang lainnya.
Buku “Apalagi Islam itu Kalau Bukan Cinta?” Menjadi buku perdana Husein Ja’far Al Hadar yang dikoordinir Eddy. Saat ini, sudah lebih dari 50 buku yang dimiliki oleh GIC sejak tahun 2015 sampai dengan tahun ini, 2024.
Lantas Eddy juga menjelaskan bahwa tingkat literasi memiliki hubungan vertikal terhadap kualitas bangsa. Tolok ukur kemajuan serta peradaban suatu bangsa adalah budaya membaca yang telah mengakar pada masyarakatnya. UNESCO menyatakan dari 1000 orang penduduk Indonesia, ternyata hanya satu orang yang memiliki minat baca. Indeksi minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001.
"Masyarakat Indonesia rata-rata membaca 0-1 buku setiap tahun. Berbeda dengan warga negara Amerika Serikat yang terbiasa membaca 10-20 buku setahun, sedangkan warga Jepang 10-15 buku setahun. Ini merupakan sebuah tragedi. Hal ini mengkonfirmasi bahwa literasi masih termarjinalkan pada lanskap ekonomi dan politik negara kita,” tambah Eddy.